PASURUAN, 11 Juli 2025 – Memasuki bulan Muharram, yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dikenal sebagai momen Tahun Baru Hijriah, Ustadz Machfud Shodiq menyampaikan seruan penting untuk melakukan muhasabah atau evaluasi diri secara menyeluruh dalam khotbah Jumatnya di Masjid Darul Arqom, Pasuruan. Meskipun tidak secara spesifik membahas terkait perayaan tahun baru, inti khotbah Ustadz Machfud fokus pada urgensi introspeksi atas perjalanan amalan dari Muharram sebelumnya hingga saat ini.
Ustadz Machfud mengamati bahwa manusia cenderung lebih sering mengevaluasi pencapaian atau kerugian dalam urusan duniawi. “Jika tahun kemarin saya memperoleh keuntungan sekian, atau kerugian sekian, dalam evaluasinya, dia akan berjuang untuk memperoleh keuntungan atau tidak kerugian di tahun ini,” ujarnya, menyoroti pola pikir umum manusia yang terfokus pada materi dan jabatan.
Lebih dari Sekadar Rutinitas Ibadah
Namun, Ustadz Machfud mengajak jamaah untuk melampaui evaluasi duniawi. Bagi mereka yang rajin mendatangi masjid, majelis ilmu, atau khotbah Jumat, beliau mempertanyakan: “Sudahkah hati dan pikiran kita dituntun serta diarahkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan ilmu yang sudah kita dapatkan?”
Ia menekankan pentingnya merefleksikan makna bacaan Al-Qur’an yang seringkali diulang, seperti kalimat “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan) dalam Surah Al-Fatihah.
“Janganlah kita ini hanya hafal ayat Al-Qur’an, mendengar kajian-kajian, lalu masih tetap saja dalam kehidupan kita berbuat sesuatu yang tidak diinginkan oleh diri sendiri, seperti kebohongan,” pesannya.
Makna “Iyyaka na’budu” harus meresap dalam setiap lini kehidupan, mulai dari pekerjaan, rezeki, membangun rumah tangga, hingga bermasyarakat dan bernegara.
Tanggung Jawab Akal dan Waktu
Ustadz Machfud mengingatkan bahwa setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas roh, waktu, dan kesempatan yang telah diberikan Allah. Akal dan waktu yang diberikan akan dipertanyakan bagaimana penggunaannya.
“Justru yang dibangun ini bukan ya ayyuhal Muslimun atau ya ayyuhan nas, tapi ya ayyuhal ladzina amanu (wahai orang-orang yang beriman),” katanya, menyoroti bahwa peringatan muhasabah ini ditujukan langsung kepada mereka yang mengaku beriman.
Untuk memperkuat seruannya, Ustadz Machfud mengutip firman Allah SWT dalam Surah Al-Hasyr (59) Ayat 18:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَـنْظُرْ نَـفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۚ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِۢمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini, jelas Ustadz Machfud, adalah perintah langsung dari Allah untuk melakukan muhasabah atas perbuatan-perbuatan kita.
Pengaruh Hati pada Pola Pikir dan Perbuatan
Ustadz Machfud menjelaskan bahwa perbuatan tidak akan terwujud kecuali diawali dari pola pikir, dan pola pikir tidak akan jernih kecuali dimulai dari informasi hati.
“Jika hati terisi dengan nilai-nilai takwa dan akhlakul karimah, akan muncul pola pikir yang jernih. Namun, jika hati dihiasi oleh hasut, dengki, dan iri, pola pikirnya akan menjadi menyesatkan,” papar beliau.
Pola pikir yang buruk ini, katanya, bahkan dapat merugikan bangsa dan negara.
Beliau kembali menekankan pentingnya memahami kalimat “Iyyaka na’budu” dan ayat “Wattakullah, innallaha khabirun bima ta’malun” (Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan). Allah tidak hanya mengetahui, tetapi juga mencatat setiap perbuatan kita.
Masa Depan Sejati: Makam dan Akhirat
Masa depan, bagi kebanyakan manusia, sering diidentikkan dengan kekayaan atau karier. Namun, Ustadz Machfud mengingatkan bahwa Islam mengajarkan masa depan sejati adalah makam (kuburan) dan proses menuju akhirat. “Bukan sekadar berhenti di dunia ini,” tegasnya.
Beliau juga menjelaskan bahwa ketakwaan, yang sering diartikan sebagai takut azab Allah, sejatinya juga mencakup harapan akan rahmat-Nya. “Takwa adalah memelihara atau terpeliharanya keimanan diri,” jelasnya.
Peran Setan dan Godaan Ujub
Ustadz Machfud menutup khotbahnya dengan peringatan tentang tipu daya iblis yang tidak pernah istirahat untuk memelesetkan niat anak Adam. Meskipun iblis mungkin putus asa mengajak pada syirik, ia tidak akan berhenti di situ. Iblis akan berusaha membangkitkan emosi yang berujung pada ujub (sombong), riya (pamer), dan takabur (angkuh).
“Ini perlu evaluasi agar kita selalu diingatkan oleh Allah SWT,” pesannya. “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas amal-amal manusia.”
Beliau berharap apa yang disampaikannya dapat menjadi semangat bagi setiap individu untuk mengevaluasi diri dalam nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, demi membangun kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Haji penuh makna n berkah