Dalam keseharian kita sebagai manusia, tanpa disadari kita sering kali terlibat dalam percakapan, tindakan, bahkan niat yang bisa melukai hati orang lain. Padahal, Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, sangat menekankan pentingnya menjaga lisan, sikap, dan hati dari menyakiti sesama.
Dari Abdullah Ibnu Umar RA: Bahwa Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Hadis ini menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap hubungan antarmanusia.
Tanpa Sadar Menyakiti
Kadang-kadang, kita tidak sadar bahwa ucapan kita menyinggung, atau tindakan kita mengecewakan. Contohnya, saat kita mengomentari fisik seseorang, membanding-bandingkan anak, menyebar rahasia, atau bercanda yang kelewat batas. Mungkin bagi kita hal tersebut adalah hal sepele atau “cuma becanda”, tapi bagi orang yang mendengarnya bisa menjadi luka batin yang mendalam.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)…” (QS. Al-Hujurat: 11).
Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak merendahkan orang lain karena ukuran baik dan mulia bukan ditentukan oleh penilaian manusia, melainkan oleh Allah SWT.
Luka yang Tak Terlihat
Berbeda dengan luka fisik yang tampak jelas dan bisa segera diobati, luka hati seringkali tersembunyi. Ia bisa mengendap lama, memengaruhi emosi, kepercayaan, dan bahkan ibadah seseorang. Seseorang yang terluka bisa menjadi minder, menjauh dari pergaulan, atau memendam dendam. Padahal, Islam mengajarkan untuk menjaga hati, baik hati sendiri maupun hati orang lain.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kalimat ini menjadi panduan etika sosial umat Islam, yaitu memilih kata-kata yang membangun dan menghindari ucapan yang menyakiti.
Cermin Diri dalam Interaksi
Penting bagi kita untuk menjadikan interaksi harian sebagai cermin diri. Bagaimana cara kita berbicara dengan pasangan, anak, teman kerja, tetangga, atau bahkan orang asing. Apakah kita menyampaikan pendapat dengan empati? Apakah kita mudah tersinggung dan membalas dengan kasar? Atau sebaliknya, apakah kita peka terhadap perasaan orang lain dan bisa menahan diri?
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Isra’ ayat 53: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar).’ Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Ayat 53 surat Al-Isra ini menekankan pentingnya penggunaan bahasa yang baik dan benar dalam berinteraksi. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengucapkan perkataan yang baik, karena setan cenderung menimbulkan perselisihan dan perselisihan tersebut adalah musuh yang nyata bagi manusia.
Perkataan yang baik dapat menjadi penenang jiwa. Ia menghindarkan konflik dan mempererat ukhuwah. Sebaliknya, ucapan yang tajam bisa memicu permusuhan, walau hanya satu kalimat.
Belajar dari Rasulullah
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam memperlakukan orang lain. Beliau dikenal sangat lembut dalam perkataan dan penuh kasih dalam tindakan. Bahkan kepada musuhnya sekalipun, beliau tidak menyakiti, apalagi menghina.
Dalil bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik adalah Surat Al-Ahzab ayat 21. Ayat ini berbunyi, “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah contoh terbaik yang bisa diikuti oleh umat Islam. Kehidupan beliau, baik ucapan, perbuatan, maupun sifat-sifatnya, menjadi teladan yang patut ditiru oleh setiap orang yang ingin meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Salah satu contoh terkenal adalah ketika seorang Yahudi setiap hari meludahi Rasulullah saat beliau lewat di depan rumahnya. Namun suatu hari, orang itu sakit dan Rasulullah malah menjenguknya. Karena kelembutan itulah hati orang itu luluh dan akhirnya masuk Islam.
Pelajaran ini mengajarkan kita bahwa kelembutan bisa lebih kuat daripada balasan dendam. Menjaga hati orang lain bukan tanda kelemahan, tapi justru bukti kekuatan iman dan kedewasaan.
Mulai dari Rumah Sendiri
Sering kali kita lebih ramah kepada orang luar daripada keluarga sendiri. Padahal, orang terdekatlah yang paling sering terkena dampak dari ucapan atau tindakan kita. Seorang suami yang terlalu keras bicara, seorang istri yang terlalu sering mengeluh, orang tua yang membanding-bandingkan anak, atau anak yang tidak menghargai jerih payah orang tuanya.
Rumah adalah ladang pertama tempat kita belajar memelihara hati. Jika hati keluarga terjaga, maka insya Allah lingkungan luar juga akan merasakan dampaknya.
Mengobati Luka dan Meminta Maaf
Jika kita merasa telah menyakiti hati orang lain, jangan tunda untuk meminta maaf. Meminta maaf adalah tindakan mulia dan tidak mengurangi harga diri. Sebaliknya, itu menunjukkan keberanian dan ketulusan hati.
Demikian juga, jika kita yang disakiti, Islam mendorong kita untuk memberi maaf. Seperti dalam QS. An-Nur ayat 22: “…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”
QS. An-Nur ayat 22 berisi perintah untuk saling memaafkan dan berlapang dada serta mengingatkan bahwa Allah akan mengampuni, jika kita juga mengampuni orang lain. Ayat ini mengisyaratkan bahwa memaafkan adalah jalan menuju pengampunan Allah dan sikap lapang dada dapat menenangkan hati.
Menjaga Hati Itu Ibadah
Menjaga hati dari menyakiti dan disakiti adalah bagian dari ibadah. Karena Allah tidak hanya melihat bentuk ibadah lahiriah, tapi juga kebersihan hati. Mari kita jaga lisan, sikap, dan prasangka. Mari tebarkan kebaikan melalui kata-kata dan tindakan yang menguatkan, bukan menjatuhkan.
Hati-Hati, Nanti Sakiti Hati
Ungkapan ini bukan sekadar kalimat ringan, melainkan peringatan penuh makna agar kita selalu mawas diri dalam bersikap dan berbicara. Dalam keseharian, sangat mungkin kita menyakiti hati orang lain tanpa disadari karena kata-kata yang tajam, sikap yang dingin, atau tindakan yang kurang empati. Padahal, dalam Islam, menjaga hati adalah bagian dari akhlak mulia dan tanda keimanan yang baik.
Di era serba cepat dan penuh tekanan ini, marilah kita lebih bijak. Belajar untuk menahan diri, memahami perasaan orang lain, dan tidak tergesa-gesa dalam merespons sesuatu. Setiap hati yang kita jaga adalah ladang pahala, dan setiap hati yang kita sakiti bisa menjadi dosa jika kita abai.
Semoga Allah menjaga hati kita agar tetap bersih, lembut, dan menjadi sumber ketenangan. Aamiin.