Sebuah masjid di Buduran, Sidoarjo, yang baru beroperasi selama enam bulan, mendadak viral di media sosial TikTok. Fenomena ini mendorong Lazismu dan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) Kota Pasuruan melakukan studi inspiratif dengan mengutus perwakilannya mempelajari langsung strategi pengelolaan Masjid Ar-Royyan Muhammadiyah Buduran.
Salah satu utusan, Muslim, yang merupakan Takmir Musholla Al Furqon Kota Pasuruan, mengaku awalnya mengira masjid tersebut sudah berdiri lama karena popularitasnya. “Kami kira masjidnya udah lama, Ustaz. Soalnya biasanya yang udah FYP kayak Jogokariyan itu kan pasti sudah lama,” kata Muslim saat kunjungan.
Dugaan itu ditepis oleh Bayu, Sekretaris Takmir Masjid Ar-Royyan. “Baru. Kita hitungannya 1 Ramadan. Baru 6 bulan belum genap malah,” ujar Bayu. Ia menjelaskan kunci keberhasilan masjid terletak pada pemahaman segmen dan strategi yang digerakkan sepenuhnya oleh kader muda Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Buduran.
Branding “Ramah Musafir” dan Program Tanpa Ceramah
Terletak di kawasan industri yang jauh dari pemukiman, Masjid Ar-Royyan secara strategis membranding dirinya sebagai “Masjid Ramah Musafir”. Konsep ini diwujudkan dalam operasional 24 jam dan penyediaan fasilitas bagi para pelancong, seperti kasur untuk beristirahat.
Keunikan masjid ini adalah program-programnya yang fokus pada kegiatan sosial, alih-alih pengajian konvensional. Salah satu program andalannya adalah “Kafe Kemajuan,” sebuah bazar kuliner gratis yang menyediakan 900 hingga 1.000 porsi makanan dan minuman setiap bulannya.
“Acaranya cuma makan-makan, sudah. Enggak ada yang lain, enggak ada pengajian,” jelas Bayu. Tujuannya sederhana: mengundang jemaah untuk datang, makan, dan bersosialisasi.
Program lainnya adalah “Pasar Kemajuan” yang diadakan setiap Ahad ketiga setelah salat Subuh. Jemaah yang mengikuti kajian singkat berdurasi maksimal 30 menit dapat membawa pulang sayur, buah, atau sembako secara gratis.
Kekuatan Media Sosial dan Adaptasi Konsep
Menurut Bayu, media sosial, terutama TikTok, menjadi ujung tombak dakwah mereka. Konten yang diunggah pun ringan dan menyentuh kehidupan sehari-hari, bukan ceramah formal. “Lihat kontennya Ar-Royyan ada pengajian? Enggak ada kok, sama sekali enggak ada,” ujarnya.
Strategi ini terbukti efektif menarik perhatian publik, meskipun juga mendatangkan tantangan. “Di samping FYP-nya itu, serangan juga banyak,” tambahnya, merujuk pada reaksi negatif yang terkadang muncul.
Para pengurus mengakui bahwa program-program mereka merupakan hasil adaptasi dari masjid-masjid sukses lainnya. Mereka secara terbuka belajar dari Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, Masjid Ismu Yahya, hingga Al-Falah Sragen. Konsep “Saldo Nol” yang dipopulerkan Jogokariyan juga mereka terapkan, di mana seluruh dana infak harus habis digunakan untuk program kemaslahatan umat.
Dengan infak Jumat yang rata-rata hanya mencapai Rp 1,4 juta, sementara kebutuhan operasional dan program seperti “Jumat Berkah” mencapai jutaan rupiah, pengelola dituntut kreatif dalam mencari dana. Salah satunya melalui penggalangan dana digital yang disematkan di profil media sosial mereka.
“Kita harus tahu segmen dulu. Kalau ingin membranding masjid, kita harus tahu segmen. Kalau kita tidak belajar itu, tidak bisa,” tutup Bayu.