Pasuruan, 4 Desember 2025 – Gelombang solidaritas bagi para korban bencana alam di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terus mengalir dari berbagai pelosok negeri. Tidak hanya lahir dari kalangan dewasa atau lembaga besar, kepedulian itu juga tumbuh subur di lingkungan pendidikan dasar. Di SD/MI Muhammadiyah Pasuruan, para siswa membuktikan bahwa rasa empati tidak mengenal batas usia, dan niat baik tidak pernah diukur dari besar kecilnya nominal, melainkan dari ketulusan di balik setiap pemberian.
Inisiatif penggalangan dana di sekolah ini berawal dari gerak cepat pihak pendidik yang tak ingin menunggu instruksi formal. Menyadari bahwa tragedi bencana membutuhkan respon segera, sekolah langsung mengajak para siswa untuk bersama-sama membantu saudara mereka yang sedang tertimpa musibah. Menggandeng Lazismu Pasuruan sebagai mitra penyaluran bantuan, pengumpulan dana dilakukan secara sederhana namun penuh kehangatan. Mas Jamal, punggawa fundraising Lazismu yang dikenal dekat dengan berbagai sekolah Muhammadiyah, hadir untuk menerima langsung amanah tersebut dari para siswa dan guru.
Pada hari penyerahan, total donasi yang terkumpul mencapai Rp 487.000. Meski bagi sebagian orang nominal tersebut tampak kecil, nilainya menjadi sangat besar bila ditilik dari sumbernya. Donasi itu bukan berasal dari satu kantong tebal, tetapi dari ratusan receh yang dikumpulkan oleh tangan-tangan kecil yang rela menahan diri untuk tidak jajan sehari dua hari. Ada siswa yang menyisihkan seratus rupiah dari uang jajannya, ada yang memasukkan beberapa lembar seribuan, dan ada pula yang menyumbangkan uang yang telah ia tabung dalam beberapa hari terakhir. Setiap keping dan lembaran yang terkumpul adalah bukti nyata bahwa kepedulian sosial tidak harus menunggu seseorang menjadi dewasa dan mapan.
Saat menerima donasi tersebut, Mas Jamal tidak menyembunyikan rasa bangganya. Ia menyampaikan apresiasi besar kepada para siswa yang telah menunjukkan bahwa empati dapat ditanamkan sejak dini. Menurutnya, Rp 487 ribu ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan simbol bahwa literasi zakat, infaq, dan solidaritas sosial telah tumbuh dengan baik di bangku SD/MI Muhammadiyah. Ia menegaskan bahwa dukungan moral seperti ini menjadi suntikan energi bagi para relawan yang terus bekerja di lapangan membantu warga terdampak bencana. Baginya, donasi yang bersumber dari anak-anak justru memiliki nilai emosional yang dalam karena menggambarkan keikhlasan yang murni dan tanpa pretensi.
Gerakan kecil ini tidak berhenti sebagai kegiatan seremonial belaka. Pihak sekolah berharap aksi tersebut dapat menjadi inspirasi bagi institusi pendidikan lain untuk ikut serta dalam gerakan kemanusiaan. Efek bola salju sangat mungkin terjadi apabila sekolah-sekolah lain melihat bagaimana anak-anak mampu memberikan kontribusi nyata meskipun dengan nominal yang sederhana. Dengan menanamkan nilai berbagi sejak dini, generasi mendatang dapat tumbuh sebagai pribadi yang peduli, peka, dan siap menjadi bagian dari solusi sosial. Aksi para siswa SD/MI Muhammadiyah ini memberi pesan penting bahwa “receh semangat” dapat berubah menjadi kekuatan besar bila dihimpun bersama dan digerakkan dengan hati yang tulus.












