Surabaya – 11 Oktober 2025, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur secara resmi membuka Pelatihan Manajemen Reputasi Digital Organisasi, di Aula Mas Mansur, Kantor PWM Jatim. Acara ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan seruan darurat untuk adaptasi total terhadap revolusi digital.Dalam pidato pembukaannya, yang penuh dengan perbandingan tajam dan studi kasus nyata, Ustadz drh Zainul Muslimin menyoroti jurang pemisah antara kualitas aksi heroik yang dilakukan persyarikatan dengan kemampuan organisasi dalam memviralkan dan menginspirasi publik secara luas.”Persoalannya adalah bagaimana kita bisa kemudian mensiapkan bahasa sekarang itu memviralkan aksi-aksi yang kita lakukan itu, dan kemudian menginspirasi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya, menekankan bahwa tindakan yang tidak terpublikasikan secara digital sama saja dengan tidak pernah terjadi di mata sebagian besar masyarakat modern.
Belajar dari Bunglon dan Perusahaan Raksasa
Zainul secara dramatis menyinggung kegagalan korporasi besar seperti Nokia dan logika bisnis lama yang tiba-tiba mati karena tidak adaptif. Untuk menggambarkan urgensi adaptasi, ia menggunakan metafora dari alam.”Kita sering melihat kalau orang disuruh kayak bunglon itu kan enggak nyaman. Bunglon itu begitu mudah berubah, sangat cepat berubah warna badannya… Dengan begitu, dia bisa survive,” jelasnya.Menurutnya, pertumbuhan teknologi yang “sangat cepat di luar itu” menuntut Muhammadiyah untuk memiliki kemampuan adaptasi yang setinggi bunglon. Jika tidak, organisasi sebesar apa pun akan “tergilas” oleh laju perubahan.
Kesenjangan Kekuatan Digital: Kasus Filantropi
Kesenjangan terbesar antara potensi organisasi dan realitas digital disajikan melalui perbandingan filantropi. Zainul membandingkan kinerja fundraising LazisMu (lembaga amil zakat Muhammadiyah) dengan inisiatif digital personal.Untuk menggalang dana sebesar Rp 36 miliar bagi Palestina, LazisMu—yang memiliki sekitar 750 kantor di seluruh Indonesia dan didukung oleh 60 juta anggota (merujuk data anggota Muhammadiyah)—membutuhkan waktu dua bulan.Namun, dengan program penggalangan dana yang sama, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mampu mencapai jumlah yang sama, Rp 36 miliar, hanya dalam waktu enam hari melalui seruan digital pribadi.”Itu dari sisi filantropi. Ini menunjukkan teman-teman kita dalam dunia dakwah, dunia politik, filantropi, bahkan bisnis, mereka sudah memulainya sejak hampir 50 tahun yang lalu,” kata Zainul, menunjukkan betapa dahsyatnya kekuatan pengaruh digital personal dibandingkan mesin birokrasi organisasi.
Imperatif Ekonomi: Bisnis Hingga Ribuan Persen
Selain dakwah dan filantropi, dampak digitalisasi di sektor ekonomi juga menjadi fokus. Zainul menceritakan pengalamannya sendiri saat pandemi COVID-19, dimana restorannya yang awalnya terpaksa tutup kemudian beralih ke digitalisasi dan mengalami lonjakan omzet 300% hingga 1500%.Ia juga memberikan contoh seorang eksportir, Mas Den, yang beralih dari mengekspor daun sirsak kering ke kulit kambing. Kulit kambing yang dibeli seharga Rp 100 ribu kini dapat dijual hingga Rp 3 juta per lembar melalui marketplace (pasar digital).”Kalau kita tidak mengenal, bahkan tidak aware dengan marketplace, dengan dunia digitalisasi umumnya, maka kita akan menjadi orang yang jagat dan kemudahan,” pungkasnya, menekankan bahwa pasar digital bukanlah konsep baru, melainkan telah dimulai sejak tahun 1985.Menutup pidato, Zainul mengajak seluruh peserta untuk mengikuti pelatihan ini dengan serius.”Maka mari atas semua input, semua post yang kita keluarkan itu agar sepadan, maka mari kita perhatikan apa output-nya,” tutupnya, menegaskan bahwa hasil dari investasi waktu dan biaya ini harus menghasilkan transformasi nyata dalam manajemen reputasi digital Muhammadiyah. (*)