Surabaya, 11 Oktober 2025 – Presentasi M. Himawan Sutanto, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus fasilitator program digitalisasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Pusijam), menjadi momen refleksi tajam bagi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se-Jawa Timur. Dalam sesi bertajuk Strategi Pembangunan Reputasi Digital, Sutanto tidak berbicara teori, melainkan langsung menggelar audit digital on the spot yang menantang peserta membuktikan seberapa besar jejak digital Muhammadiyah di mesin pencari dan media sosial.
Menurutnya, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi besar, melainkan brand yang harus dikelola secara profesional di dunia digital. “Kalau besar di dunia nyata, seharusnya besar juga di dunia maya,” tegasnya. Namun hasil audit cepat menunjukkan hal sebaliknya. Banyak PDM atau PCM yang belum memiliki Google Review, atau memiliki skor tinggi (4,8–4,9) tapi hanya didukung satu-dua ulasan. “Kalau cuma satu yang ngasih, itu kecil. Besarnya organisasi harus diterjemahkan ke volume data,” ujarnya.
Kondisi serupa juga terlihat di media sosial. Banyak akun PDM dengan ribuan pengikut, namun kontennya monoton, hanya informasi pengajian atau kegiatan rutin. Sutanto menekankan bahwa reputasi digital menuntut kreativitas dan keunikan. “Kalau bicara reputasi, jangan cuma khutbah. Tapi pikirkan, di medsos kita mau sajikan apa? Apa menunya?” katanya. Ia bahkan mendorong tiap daerah menemukan ciri khas lokal seperti bebek hitam Bangkalan atau semanggi Surabaya untuk dijadikan pilar konten yang membangun identitas Muhammadiyah.
Sutanto juga menegaskan bahwa reputasi bukan berasal dari pujian diri sendiri, melainkan penilaian publik. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Muhammadiyah yang mencapai 91 persen harus diterjemahkan menjadi kekuatan digital. Namun, potensi besar itu bisa hilang jika organisasi buta digital. Ia mencontohkan, seseorang yang ingin berdonasi lewat Google justru menemukan panti asuhan non-Muhammadiyah karena tidak ada informasi daring yang relevan.
Untuk memperkuat citra digital, Sutanto memaparkan tiga pilar utama:
(1) Kredibilitas dan storytelling, yaitu konten harus akurat, jujur, dan menampilkan dampak nyata amal usaha.
(2) Branding visual dan interaksi cepat, yaitu penggunaan logo resmi dan tanggapan publik yang cepat serta empatik.
(3) Konten singkat dan partisipatif, yaitu pemanfaatan format video pendek serta dorongan bagi warga Muhammadiyah untuk menjadi produsen konten melalui platform seperti PWMU.co dan Suara Muhammadiyah.
Menutup presentasinya, Sutanto mengingatkan pentingnya Netiket dan kewaspadaan terhadap UU ITE. Ia menegaskan agar pengurus berhati-hati mengunggah foto atau menyebut nama orang tanpa izin, serta fokus pada konten positif yang membangun citra Persyarikatan.
Menurutnya, langkah digital ini bukan sekadar tren, tapi kebutuhan mendesak. “Muhammadiyah harus berubah dari organisasi besar secara fisik menjadi brand digital yang kuat, terpercaya, dan adaptif,” pungkasnya.
Presentasi ini menjadi pengingat bahwa eksistensi Muhammadiyah di abad ke-21 tidak lagi cukup di mimbar dan masjid, tetapi juga di layar dan algoritma. Dunia digital adalah medan dakwah baru, dan reputasi daring adalah wajah modern Muhammadiyah hari ini.
Editor: Marjoko