Hari ini, jutaan umat Muslim dari berbagai bangsa dan latar belakang budaya bersatu dalam kesadaran spiritual yang mendalam, memperingati Idul Adha—sebuah momen yang menandai puncak ketauhidan dan pengorbanan dalam sejarah manusia.
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi poros utama dari ibadah qurban. Sebuah peristiwa agung di mana nilai ubudiyah (penghambaan) mencapai titik tertinggi: ketika Allah diagungkan, maka yang lain menjadi kecil. Saat Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya, ia tidak sekadar diuji sebagai seorang ayah, tetapi juga sebagai hamba sejati.
Allah berfirman dalam QS. Ash-Shaffat: 102–105:
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’… Dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang besar.”
Kisah ini mengandung dua dimensi penting. Vertikal, yaitu hubungan total dan mutlak Nabi Ibrahim dengan Allah. Tanpa ragu, ia tunduk pada perintah Tuhannya, sekalipun yang diminta adalah sesuatu yang paling dicintainya. Inilah puncak dari tauhid—meletakkan kehendak Allah di atas segalanya.
Di sisi lain, ada dimensi horizontal, yakni relasi spiritual dan emosional antara ayah dan anak. Nabi Ismail bukan sekadar menerima, tetapi mendukung sepenuhnya keputusan ayahnya yang berdasarkan perintah Allah. Kepatuhan dan kesabaran Ismail adalah cerminan kesalehan dan keimanan yang mengakar kuat dalam keluarga tauhid.
Inilah makna sejati dari qurban. Kata qurban berasal dari akar kata qaruba, yang berarti mendekat. Maka, berqurban bukan hanya menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego, keserakahan, dan keterikatan duniawi demi mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj: 37:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya…”
Qurban adalah ekspresi cinta dan pengabdian. Ia mengajarkan bahwa sejauh apapun jarak manusia dari Tuhannya, selalu ada jalan untuk kembali—dengan ketundukan, keikhlasan, dan pengorbanan. Sebuah pelajaran yang melintasi zaman dan terus relevan dalam kehidupan manusia modern.