Pasuruan, 27 Juli 2025 – Pagi ini, Kajian Ahad Pagi Masjid Darul Arqom di Pasuruan dipenuhi oleh jemaah yang antusias mengikuti kajian rutin Ahad pagi. Ustadz H. Imam Nachrowi, S.T., M.M., membawakan materi yang begitu relevan dan mencerahkan: pengelolaan sistem ekonomi. Ustadz Imam tidak hanya membandingkan model ekonomi yang ada, tetapi juga mengajak jemaah untuk merefleksikan tantangan ekonomi umat Islam di masa kini, dengan menukik pada esensi prinsip ekonomi Rasulullah SAW.
Ustadz Imam memulai pemaparannya dengan menganalisis sistem ekonomi sosialis atau komunis. “Ciri pokok dari sistem ini adalah negara mengambil alih secara penuh seluruh sendi ekonomi,” jelas Ustadz Imam, menyoroti bagaimana kekuasaan terpusat menjadi inti dari model ini. Ia tidak sekadar menjelaskan teori, namun memberikan contoh konkret Republik Rakyat Tiongkok. Di sana, peran negara begitu dominan dalam mengatur industri, bahkan sampai pada level detail seperti pengaturan pasokan listrik antara kebutuhan industri dan masyarakat. “Di sana, kebebasan individu dalam berekonomi sangat dibatasi,” imbuhnya, menekankan konsekuensi hilangnya otonomi personal dalam aktivitas ekonomi di bawah kendali negara yang begitu kuat. Sistem ini, menurut Ustadz Imam, memperlihatkan betapa sentralisasi kekuasaan dapat mengekang inisiatif dan inovasi individu, mengarahkan ekonomi sepenuhnya berdasarkan kebijakan dan perencanaan pusat.
Selanjutnya, Ustadz Imam mengajak jemaah untuk menyelami strategi ekonomi yang diterapkan pada era Rasulullah SAW dan para sahabatnya, sebuah model yang berdiri kontras dengan sistem sosialis. “Strategi ekonomi pada masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya berfokus pada prinsip-prinsip syariah, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat,” tegas Ustadz Imam. Ia menjelaskan bahwa ekonomi Islam tidak hanya tentang transaksi materi, tetapi juga melibatkan dimensi moral dan sosial yang kuat. Beberapa pilar penting yang menjadi fondasi sistem ekonomi Islam kala itu antara lain: Manajemen Baitul Mal yang profesional di masa Abu Bakar, di mana dana publik didistribusikan untuk kemaslahatan seluruh umat; Partisipasi Kerja (Mudharabah), sebuah bentuk kemitraan adil antara pemilik modal dan pekerja yang mendorong semangat kewirausahaan; serta larangan tegas terhadap riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (perjudian) yang dianggap merusak keadilan. Islam juga menghormati kepemilikan pribadi, mendorong pengembangan pasar yang adil jauh dari monopoli, dan memperhatikan pengembangan infrastruktur yang krusial untuk kelancaran aktivitas ekonomi. Selain itu, kebijakan fiskal seperti pengumpulan zakat dan distribusi kekayaan, serta kebijakan moneter yang mengontrol peredaran uang dan melarang penimbunan, diterapkan untuk menjaga stabilitas. Pengendalian harga secara adil dan pengawasan pasar yang ketat oleh muhtasib memastikan kualitas dan kuantitas barang, sementara etika bisnis yang menjunjung kejujuran, transparansi, dan larangan monopoli menjadi pondasi moral dalam setiap transaksi.

Di akhir kajiannya, Ustadz Imam juga menyinggung tentang pandangan Anwar Abbas dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengenai tantangan ekonomi umat Islam di era kontemporer. “Menurut PWC, Indonesia diprediksi akan menjadi negara maju dan mampu bersaing dengan Amerika dan Eropa. Dalam konteks ini, Islam sebagai mayoritas, harus menyiapkan diri,” tegas Ustadz Imam. Ia mengingatkan bahwa jika kondisi ekonomi umat Islam masih terpuruk, mereka hanya akan menjadi penonton dalam kemajuan negara. “Jumlah yang banyak adalah potensi luar biasa jika mampu dikelola dengan baik,” katanya, menggarisbawahi pentingnya pemberdayaan ekonomi umat melalui pendidikan, keterampilan, dan jaringan ekonomi. Ustadz Imam juga menyampaikan kekhawatiran terkait situasi politik transaksional, di mana ekonomi seringkali memegang kendali penuh atas politik. Mengutip Milton Friedman, seorang ekonom dan penasihat Richard Nixon dan Ronald Reagan, Ustadz Imam menyampaikan pesan penting: “Jika kekuatan Politik dan Ekonomi berada dalam satu tangan, maka dia akan melahirkan rezim tiran dan zalim.” Pernyataan ini menjadi peringatan serius akan bahaya konsentrasi kekuasaan yang berlebihan, yang dapat merenggut kebebasan dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini menegaskan kembali pentingnya pemisahan kekuasaan dan pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Kajian ditutup dengan pesan kuat bahwa umat Islam perlu bangkit secara ekonomi, tidak hanya untuk kesejahteraan pribadi tetapi juga untuk kemaslahatan bangsa. Mengaplikasikan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, dengan tetap beradaptasi pada dinamika zaman, serta mewaspadai potensi penyalahgunaan kekuasaan, adalah kunci menuju tatanan ekonomi yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan bagi semua.