Sebuah video shalawat yang dilakukan sambil joget-joget tengah ramai diperbincangkan di media sosial. Konten ini memicu berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif, di masyarakat. Para pendukungnya berargumen bahwa menggabungkan shalawat dengan joget merupakan cara dakwah yang kreatif untuk menjangkau audiens yang lebih luas, terutama di kalangan anak muda. Sebaliknya, mereka yang menolak tindakan tersebut merasa bahwa hal ini merusak kesucian shalawat dan mengurangi nilai-nilai agama.
Majelis Tarjih Muhammadiyah menekankan pentingnya melaksanakan bershalawat dengan tata krama yang benar dan baik. Mereka juga memperingatkan bahwa gerakan-gerakan yang tidak sesuai dapat merusak kesucian dari shalawat itu sendiri.
Respon Majelis Tarjih

Melansir muhammadiyah.or.id, perdebatan ini menarik perhatian masyarakat dan menjadi perbincangan hangat di acara Pengajian Tarjih yang berlangsung pada Rabu (16/04). Dalam kesempatan itu, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid, memberikan penjelasan yang mendalam. Ia menekankan bahwa shalawat merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wawan Gunawan menggunakan dua dalil sebagai landasan landasan bahwa shalawat adalah amalan mulia yang dianjurkan secara mutlak. Ia mengutip Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab ayat 56 dan hadis Nabi SAW:
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
Dalam hadis Rasulullah SAW juga disebutkan:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“Barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh
Ajengan Wawan pun menceritakan pengalamannya sendiri, mengakui bahwa ia sering kali terbawa suasana ketika mendengarkan alunan shalawat.
“Sekarang kita melihat musikalisasi shalawat, bahkan ‘pabrikasi’ shalawat yang begitu masif. Saya tak bisa menahan hati untuk tidak ikut melantun. Kadang, shalawat itu membawa rindu kepada orang tua, dan yang paling utama, rindu kepada Rasulullah SAW,” ungkapnya dengan penuh haru.
Dia menyatakan bahwa setiap kali melafalkan shalawat, pikirannya selalu kembali pada cerita kehidupan Nabi yang diceritakan dalam Sirah Nabawiyah, seperti yang diuraikan oleh Martin Lings dalam bukunya, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources.
“Meski Lings seorang mualaf, karyanya yang berbasis sumber otentik bisa membuat kita menangis,” tambahnya.
Namun, apabila shalawat disajikan bersamaan dengan musik atau tarian, apakah hal itu masih diperbolehkan? Menurut Ajengan Wawan, hal tersebut dapat diterima selama tetap sejalan dengan tujuan ibadah itu sendiri.
“Shalawat adalah diksi dan narasi yang dipilih Allah dan Rasul-Nya, lalu dikembangkan secara kreatif oleh para ulama melalui lagu dan puji-pujian. Jika musik itu menghadirkan kekhusyukan kepada Allah, mendekatkan kita kepada Rasulullah, dan menjauhkan dari dosa, maka itu dianjurkan,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah memberikan izin untuk menggunakan musik dalam situasi-situasi tertentu, seperti saat merayakan acara atau sebagai pengiring kegiatan yang tidak melanggar aturan agama. Namun, ia juga mengingatkan agar kita tidak terjebak dalam perilaku yang berlebihan.
“Jika shalawat disertai tindakan fujur atau melanggar syariat, seperti ikhtilath (campur baur tanpa batas) atau joget-joget yang tidak pantas, itu tidak boleh. Niat memuji Rasulullah harus selaras dengan aura Al-Qur’an dan Sunnah,” jelasnya.
Ia memberikan contoh mengenai prinsip sadd adz-dzari’ah, yaitu menutup kemungkinan timbulnya keburukan, yang bisa diterapkan untuk melarang tarian jika dianggap dapat memicu pelanggaran terhadap syariat.
“Hukum asal shalawat adalah boleh, tapi bisa menjadi tidak boleh jika disertai unsur tercela,” tambahnya.
Ajengan Wawan turut menarik perbandingan antara persoalan ini dengan praktik ziarah ke makam.
“Ziarah kubur hukum asalnya boleh, tapi jika mengundang syirik atau bid’ah, maka menjadi tidak boleh. Begitu pula dengan shalawat. Jangan katakan Muhammadiyah melarang shalawat—tidak! Kami hanya menekankan agar sesuai syariat,” ujarnya.
Perdebatan mengenai shalawat yang disertai dengan gerakan joget mencerminkan berbagai pandangan dalam komunitas Muslim terkait inovasi dalam praktik keagamaan. Di satu sisi, inovasi dalam metode dakwah diperlukan untuk menjangkau kalangan muda. Namun, di sisi lain, penting untuk tetap menjaga batasan-batasan yang ditetapkan dalam syariat agar ibadah tetap terjaga kesuciannya.
Seperti yang disampaikan oleh Ajengan Wawan, penting untuk menangani isu ini dengan cermat agar shalawat tetap menjadi sarana untuk mencintai Rasulullah, dan bukan menjadi penghalang yang menjauhkan umat dari esensi ajaran Islam.