Tahun 536 Masehi. Para sejarawan dunia sepakat menjuluki tahun ini sebagai salah satu tahun terburuk yang pernah disaksikan umat manusia. Catatan kuno dari Bizantium hingga Eropa menceritakan bagaimana langit diselimuti kegelapan pekat selama berbulan-bulan. Bukan karena malam yang tak berujung, melainkan karena tabir debu tebal dari letusan gunung berapi yang menyebar ke seluruh penjuru atmosfer.
Siang hari tak lagi cerah. Matahari meredup, menyerupai senja yang tak kunjung usai. Suhu global anjlok hingga 2,5 derajat Celsius. Musim panas yang seharusnya menjadi harapan bagi petani berubah menjadi musim dingin yang kejam. Akibatnya, panen gagal total, kelaparan merajalela dari Eropa hingga Asia. Rakyat jelata paling menderita, banyak yang meninggal, dan kekacauan sosial tak terhindarkan. Dunia seolah dihimpit penderitaan yang tak berkesudahan, diperburuk dengan peperangan yang tak pernah usai.
Belum sempat bangkit dari keterpurukan, lima tahun kemudian, pada 541 M, dunia kembali dihantam musibah. Wabah Justinian, sebuah pandemi mematikan, menyapu Kekaisaran Bizantium dan sekitarnya, merenggut puluhan juta nyawa dan menjatuhkan populasi dunia ke titik terendah. Bencana alam, kelaparan, wabah penyakit, dan peperangan menjadi kombinasi sempurna yang menjadikan abad ke-6 sebagai salah satu masa tergelap dalam peradaban manusia.
Pada masa itu, dunia berada di bawah kendali dua imperium besar: Romawi Timur (Bizantium) dan Persia Sasaniyah. Namun keduanya terbukti tidak mampu menanggung beban peradaban. Perang panjang yang disebut The Last Great War of Antiquity antara Romawi dan Persia justru memperparah kehancuran, meninggalkan kekosongan kepemimpinan global.
Namun, sejarah selalu menyimpan keseimbangan. Tiga dekade setelah masa kelam itu, di tengah kegelapan yang masih membekas, sebuah cahaya baru muncul. Pada tahun 571 M, lahirlah seorang bayi suci di kota Mekkah. Tahun kelahirannya dikenal sebagai Tahun Gajah, bertepatan dengan peristiwa tentara bergajah pimpinan Abrahah yang gagal menghancurkan Ka’bah. Bayi itu kelak dikenal sebagai Nabi Muhammad SAW.
Dikisahkan, ketika beliau lahir, banyak mata air yang sebelumnya tertutup akibat gunung Meletus, kembali memancar. Pohon-pohon yang lama kering mulai berbuah, dan tanah yang gersang kembali menumbuhkan tanaman. Fenomena ini dipandang sebagai simbol hadirnya rahmat Allah melalui kelahiran seorang nabi terakhir yang akan membawa cahaya di tengah kegelapan dunia.
Kelahiran beliau menandai awal dari perubahan besar bagi umat manusia. Jika abad ke-6 dipenuhi bencana dan kehancuran, abad berikutnya menjadi saksi bisu turunnya rahmat Allah melalui risalah Islam. Muhammad tumbuh menjadi pribadi yang jujur, amanah, dan penuh kasih sayang. Pada usia 40 tahun, beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira, memulai misi suci yang membawa manusia dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya iman.
Ajaran beliau menegakkan keadilan, menumbuhkan persaudaraan, dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Risalah Islam bukan hanya membebaskan bangsa Arab dari tradisi yang menyimpang, tetapi juga memberi arah baru bagi peradaban dunia. Dari gurun pasir Mekkah dan Madinah, cahaya Islam menyebar ke seluruh penjuru, membawa nilai-nilai luhur yang tetap relevan hingga kini.
Sejarah mengajarkan, setelah penderitaan panjang yang melanda bumi pada 536 M, Allah menghadirkan rahmat terbesarnya melalui kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari masa tergelap, manusia akhirnya menemukan harapan, petunjuk, dan keberkahan yang abadi.