Bayangkan sejenak jika hari ini, di tengah khusyuknya ibadah, seseorang dengan sengaja buang air kecil di dalam masjid. Apa reaksi pertama Anda? Mungkin amarah akan meluap, teriakan akan pecah, dan dorongan untuk mengusir tentu tak terbendung. Reaksi spontan semacam itu, sejujurnya, sangat manusiawi. Namun, tahukah Anda bahwa peristiwa serupa, yang jauh lebih menampar naluri kemarahan, pernah terjadi di masa hidup Rasulullah SAW?
Kisah ini bersemi di Masjid Nabawi. Kala itu, seorang Arab Badui – seorang yang baru mengenal kehidupan kota dan belum memahami adab-adabnya – tiba-tiba masuk dan, tanpa sedikit pun rasa bersalah, berdiri di salah satu sudut masjid dan buang air kecil di sana. Para sahabat, yang terkejut menyaksikan pemandangan tak terduga ini, sontak bangkit. Niat untuk menegur keras, bahkan mungkin mengusir paksa, membara di benak mereka. Kesucian rumah ibadah seolah tercabik.
Namun, di tengah gelombang emosi itu, Rasulullah SAW menunjukkan kebijaksanaan dan kelembutan yang luar biasa. Beliau segera menahan para sahabat yang hendak bertindak kasar. “Biarkan dia menyelesaikannya,” sabda beliau dengan tenang, “Jangan dihentikan di tengah-tengah.”
Setelah sang Badui menuntaskan hajatnya, tak ada sedikit pun caci maki keluar dari bibir Rasulullah. Justru, beliau memerintahkan seorang sahabat untuk mengambil seember air, lalu dengan sigap menyiramkan air tersebut ke tempat najis itu, membersihkannya.
Kemudian, dengan langkah penuh kasih, Rasulullah mendekati pria Badui tersebut. Beliau menasihatinya, bukan dengan hardikan, melainkan dengan kelembutan yang menyentuh hati. “Masjid ini tidak layak untuk hal seperti itu,” ujar beliau. “Masjid diperuntukkan bagi dzikir kepada Allah, salat, dan membaca Al-Qur’an.” Pendekatan yang sarat cinta ini tak hanya membuat sang Badui memahami kesalahannya, tetapi juga merasakan sebuah penghargaan yang mendalam sebagai manusia.
Kisah ini tak berhenti di sana. Pada kesempatan lain, Badui tersebut kembali hadir dalam salat berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat. Seusai salat, ia mengangkat kedua tangannya dan berdoa dengan suara lantang: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepadaku dan kepada Muhammad saja. Tidak kepada yang lain.” Doa yang spontan, sedikit ‘nyeleneh’, namun jelas mengisyaratkan bahwa ia masih menyimpan sedikit rasa tidak nyaman kepada sahabat-sahabat yang sempat hendak memukulnya.
Rasulullah pun tersenyum. Lagi-lagi, beliau memberikan pelajaran yang lembut. “Jangan kamu persempit rahmat Allah yang luas itu,” sabda beliau, mengingatkan tentang keluasan kasih sayang Tuhan.
Kisah Nabi Muhammad SAW dan Arab Badui ini adalah mercusuar tentang makna toleransi, kasih sayang, dan kebijaksanaan dalam berdakwah. Rasulullah mencontohkan bahwa perubahan hakiki tak akan pernah lahir dari kekerasan, amarah, atau caci maki. Sebaliknya, ia tumbuh dari sikap lembut, pemahaman yang mendalam, dan kesabaran yang tak berbatas.
Di tengah hiruk pikuk zaman yang kerap diracuni amarah dan reaksi spontan, kisah ini menjadi pengingat yang begitu krusial: dakwah bukanlah soal siapa yang paling keras bicara, tetapi siapa yang paling bijak dalam bersikap.