Dalam dunia politik dan pemerintahan, komunikasi adalah senjata utama. Setiap kata yang keluar dari mulut seorang pejabat akan dipantau, dicatat, bahkan dikritisi oleh publik. Karena itu, salah komunikasi bukanlah hal sepele. Ia dapat berimplikasi luas, mulai dari turunnya kepercayaan rakyat hingga kegagalan kebijakan negara.
Pertama-tama, kepercayaan publik menjadi korban utama dari komunikasi yang salah. Pejabat publik adalah representasi negara. Ketika ia berbicara dengan cara yang tidak jelas, ambigu, atau mudah disalahartikan, masyarakat berpotensi kehilangan arah. Jika kesalahan itu berulang, kepercayaan publik akan terkikis dan kredibilitas pejabat pun runtuh. Kepercayaan, yang sejatinya dibangun dengan susah payah, bisa hilang hanya karena keliru memilih kata.
Dampak berikutnya adalah kebijakan yang tidak efektif. Instruksi yang salah tafsir berpotensi menimbulkan kebingungan di lapangan. Aparat di tingkat bawah bisa salah melaksanakan perintah, sehingga program yang seharusnya membawa manfaat justru tidak berjalan sesuai rencana. Dalam skala besar, salah komunikasi bisa membuat kebijakan nasional kehilangan tujuan awalnya.
Selain itu, salah komunikasi berisiko menimbulkan konflik sosial dan politik. Kata-kata pejabat bukan hanya sekadar pernyataan, tetapi bisa menjadi simbol yang menyinggung kelompok tertentu. Salah ucap sedikit saja bisa memicu protes, perpecahan, bahkan gesekan antar lembaga. Dalam konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, sensitivitas berbahasa menjadi kunci agar pejabat tidak menambah masalah baru di tengah kompleksitas yang sudah ada.
Di era digital, konsekuensinya semakin nyata. Citra buruk di media bisa menyebar hanya dalam hitungan detik. Ucapan pejabat yang keliru dengan cepat viral di media sosial, dijadikan bahan olok-olok, bahkan dimanipulasi untuk kepentingan politik lawan. Reputasi yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap karena satu kalimat yang dianggap tidak tepat.
Lebih jauh, komunikasi pejabat saat ini tidak hanya berupa tuturan kata langsung, melainkan juga hadir dalam bentuk konten digital. Banyak pejabat yang kini aktif di media sosial, membuat unggahan, video, atau bahkan status yang seakan menyindir netizen. Padahal, hal tersebut juga bagian dari komunikasi publik yang bisa menimbulkan dampak besar. Konten yang bernuansa sindiran atau dianggap meremehkan masyarakat bisa menimbulkan perlawanan balik, memperkeruh suasana, bahkan menurunkan wibawa pejabat itu sendiri.
Tidak kalah penting, salah komunikasi juga dapat menimbulkan kerugian finansial dan administratif. Misalnya, kesalahan dalam menjelaskan kebijakan anggaran atau program pembangunan dapat membuat birokrasi bekerja tumpang tindih. Akibatnya, terjadi pemborosan dana negara dan potensi penyalahgunaan wewenang. Kerugian semacam ini bukan hanya mencoreng nama pejabat, tetapi juga merugikan masyarakat luas.
Oleh karena itu, salah komunikasi bagi pejabat harus dianggap sebagai krisis serius, bukan sekadar kekeliruan teknis. Publik berhak mendapatkan informasi yang jelas, jujur, dan konsisten dari para pemimpinnya. Pejabat pun harus menyadari bahwa setiap kata, tulisan, dan konten digital yang ia keluarkan memiliki bobot politik, sosial, dan moral yang tinggi.
Mencegah salah komunikasi membutuhkan kesadaran dan profesionalitas. Pertama, pejabat perlu menyiapkan pesan dengan matang sebelum disampaikan, baik dalam bentuk pidato, unggahan, maupun pernyataan publik. Kedua, pejabat sebaiknya didukung oleh tim komunikasi yang kompeten untuk memastikan pesan sampai dengan tepat. Dan yang tak kalah penting, pejabat harus selalu mengutamakan kejujuran dan transparansi, karena publik lebih mudah memaafkan kesalahan jika ada keterbukaan dibanding jika merasa dibohongi.
Singkatnya, salah komunikasi bukan sekadar persoalan gaya bicara, melainkan persoalan kepemimpinan. Ia bisa meruntuhkan kepercayaan, menggagalkan kebijakan, memicu konflik, merusak citra, dan menimbulkan kerugian besar. Jika komunikasi adalah kunci, maka kesalahan dalam menggunakannya bisa menjadi awal dari pintu krisis.