Peraturan royalti musik yang semakin diperketat telah memicu perdebatan sengit di kalangan pengusaha kuliner. Aturan yang mewajibkan pemilik restoran, kafe, dan sejenisnya membayar royalti untuk musik yang mereka putar, kini menghadapi resistensi dan adaptasi baru dari para pelaku usaha. Banyak pengusaha mulai mempertanyakan urgensi dan nilai musik sebagai daya tarik utama, terutama di era di mana preferensi konsumen semakin beragam dan personal.
Seorang yang juga memiliki pengalaman sebagai musisi, pengusaha kuliner, dan penikmat, mengamati fenomena ini dari berbagai sisi. Dari perspektif musisi, tuntutan akan imbalan yang adil atas karya adalah hal yang wajar. Namun, dari kacamata pengusaha, biaya operasional harus ditekan seminimal mungkin. Di tengah perimbangan ini, timbul pertanyaan: apakah musik benar-benar menjadi faktor penentu utama keberhasilan sebuah tempat makan?
Bagi sebagian besar restoran, faktor-faktor seperti rasa masakan yang lezat, pelayanan yang ramah dan cepat, serta fasilitas parkir yang memadai jauh lebih krusial dalam menarik dan mempertahankan pelanggan. Musik sering kali dianggap sebagai variabel pelengkap, bukan penentu. “Sebagai konsumen, saya lebih mementingkan makanan enak dan pelayanan baik,” ujarnya. “Musik bahkan tidak masuk dalam daftar pertimbangan utama saya saat memilih restoran.”
Kondisi ini sedikit berbeda di industri kedai kopi (coffeeshop). Di sini, faktor rasa kopi, suasana yang nyaman dan cozy, serta fasilitas parkir yang luas masih menjadi prioritas. Musik memang berperan dalam membangun suasana, namun sering kali selera musik pemilik atau pengelola tidak selaras dengan preferensi pengunjung, yang berujung pada pengalaman kurang maksimal.
Dengan adanya pengetatan aturan royalti, industri kuliner diprediksi akan mengalami perubahan signifikan. Sebagian besar restoran dan kafe kemungkinan akan memilih untuk tidak memutar musik sama sekali. Pelanggan tetap bisa menikmati musik favorit mereka melalui headset pribadi. Skenario ini bahkan dinilai lebih nyaman bagi sebagian orang, karena memungkinkan fokus pada percakapan atau pekerjaan tanpa interupsi.
Sejumlah kecil tempat mungkin akan mengadopsi model niche market. Misalnya, sebuah kafe khusus bagi penggemar The Beatles yang rela membayar royalti karena musik menjadi identitas utama tempat tersebut. Selain itu, maraknya penggunaan musik bebas royalti dari platform seperti YouTube No Copyright Sound (NCS) diprediksi akan menjadi tren. Era disrupsi teknologi juga akan menawarkan solusi lain, seperti penggunaan musik yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI). Aplikasi seperti Suno memungkinkan manajemen restoran untuk menciptakan musik orisinal yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan suasana tempat mereka, tanpa terbebani biaya royalti.
Beberapa tempat makan, khususnya yang mengusung konsep Islami, mungkin akan memilih untuk memutar alunan qiroah Al-Qur’an, yang dianggap memiliki nilai spiritual lebih kuat dan tidak terikat aturan royalti. Perkembangan ini menunjukkan bahwa industri kuliner berada di persimpangan jalan, di mana adaptasi dan inovasi menjadi kunci. Terlepas dari polemik royalti, masa depan industri ini tampaknya akan lebih mengutamakan personalisasi, efisiensi, dan kreativitas dalam menciptakan pengalaman unik bagi pelanggan, bukan lagi sekadar mengandalkan musik sebagai daya tarik semata.