Konflik bersenjata abad ke-21 semakin menampakkan wajah barunya: perang yang didominasi teknologi, bukan sekadar keunggulan pasukan di medan laga. Perang Rusia-Ukraina yang berkecamuk sejak Februari 2022 menjadi bukti nyata, di mana drone (pesawat tanpa awak) memainkan peran krusial dalam menembus garis pertahanan dan melumpuhkan target strategis. Baru-baru ini, serangan drone Ukraina dilaporkan menghancurkan bandara militer Rusia, menegaskan pergeseran paradigma perang yang tak terbantahkan.
Fenomena ini meluas jauh melampaui Eropa Timur. Iran, dalam serangan skala besar ke wilayah Tel Aviv, Israel, tidak hanya mengandalkan rudal balistik tetapi juga membanjiri pertahanan udara Israel dengan ratusan drone. Demikian pula, ketegangan antara Pakistan dan India kini memasuki babak baru dengan pemanfaatan drone dalam strategi militer kedua negara. Perang masa depan adalah perang asimetris yang dimenangkan oleh kecerdikan teknologi dan kecepatan adaptasi, bukan semata jumlah pasukan atau tank.
Realitas ini memantik pertanyaan kritis: Apakah Indonesia siap menghadapi ancaman serupa? Bayangkan skenario di mana ratusan drone asing, mungkin dipersenjatai atau berfungsi sebagai pengacau sinyal, menyerbu wilayah kedaulatan Indonesia. Pertanyaan mendesak muncul: apakah sistem pertahanan udara Indonesia memiliki kemampuan untuk mendeteksi, melacak, dan melumpuhkan secara efektif drone-drone mini atau swarm (kawanan) tersebut yang mampu terbang rendah dan menghindar dari radar konvensional?
Ironi terbesar terletak pada fokus pembangunan nasional. Di saat negara-negara maju dan bahkan beberapa negara berkembang berpacu mengembangkan teknologi militer generasi keempat (militer 4.0) – mencakup drone canggih, sistem otomasi, kecerdasan buatan (AI), dan pertahanan siber yang tangguh – Indonesia justru masih berkutat pada eksploitasi sumber daya alam secara intensif. Raja Ampat, mutiara ekologis dunia, terus menjadi contoh eksplorasi berlebihan yang mengancam keberlanjutan, sementara investasi strategis di bidang pendidikan sains-teknologi, riset terapan, dan industri pertahanan berteknologi tinggi masih jauh dari memadai.
Jargon “hilirisasi” yang sering digaungkan pemerintah pun menuai tanya. “Hilirisasi seperti apa yang kita bangun? Apakah mencakup hilirisasi teknologi tinggi, penguatan industri pertahanan dalam negeri berbasis riset, dan pembangunan ekosistem keamanan siber? Atau sekadar memproses tambang mentah menjadi setengah jadi, tanpa visi transformasi menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi?”
Ancaman masa depan tidak lagi hanya datang dari laut atau udara tradisional, tetapi dari langit yang dipadati drone tak berawak dan dari dunia maya yang penuh siluman perang siber (cyber warfare). Ketergantungan pada senjata konvensional dan jumlah personel tanpa dukungan teknologi mutakhir
Panggilan untuk membangun “digital fortress” (benteng digital) berbasis kecerdasan lokal dan kemandirian teknologi kini semakin mendesak. Masa depan keamanan nasional Indonesia bergantung pada keputusan strategis yang diambil hari ini, mengalihkan fokus dari sekadar mengeksploitasi alam menuju membangun keunggulan teknologi dan kecerdasan manusia. Waktu terus berjalan, sementara ancaman drone di langit nusantara bukan lagi sekadar skenario fiksi, melainkan potret buram yang bisa menjadi kenyataan.