Era pandemi mengubah banyak hal, termasuk cara masyarakat menjalani gaya hidup. Pembatasan mobilitas dan kebutuhan akan kesehatan memicu munculnya tren bersepeda sebagai hobi yang digandrungi. Bersepeda menawarkan solusi olahraga yang aman dan menyenangkan, baik secara individu maupun berkelompok, di ruang terbuka dengan tetap menjaga jarak fisik. Tak heran, berbagai komunitas dan klub sepeda, atau yang akrab disebut “klub gowes,” bermunculan di berbagai kota, mulai dari yang santai hingga yang menantang. Fenomena ini tidak hanya menciptakan gaya hidup baru tetapi juga berhasil mempererat tali sosial di tengah keterbatasan interaksi.
Seiring meredanya pandemi, tren gaya hidup sehat terus berkembang, memunculkan hobi olahraga baru di tengah masyarakat. Setelah bersepeda, olahraga lari atau running menjelma menjadi pilihan favorit. Kesederhanaan dan fleksibilitasnya menjadi daya tarik utama; lari bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Berbagai event lari, mulai dari fun run hingga maraton, kini menjamur dan turut memperkuat komunitas pelari di berbagai daerah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin menyadari pentingnya aktivitas fisik sebagai bagian integral dari hidup sehat.
Tak berhenti di situ, ada pula bintang baru yang mulai mencuri perhatian: Padel. Olahraga yang merupakan perpaduan antara tenis dan squash ini memang tergolong baru di Indonesia, namun telah menunjukkan potensi besar untuk digemari. Sifatnya yang kompetitif namun tetap menyenangkan menjadi magnet bagi banyak orang. Sebagai buktinya, pembangunan lapangan-lapangan padel mulai masif di kota-kota besar. Ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan simbol bahwa masyarakat semakin terbuka terhadap inovasi dalam gaya hidup sehat, dan kebutuhan akan aktivitas fisik telah menjadi bagian dari gaya hidup modern pasca pandemi.
Namun, di balik geliat positif tren olahraga ini, tersimpan sebuah ironi yang menarik untuk dicermati: persepsi akan “olahraga murah” ternyata tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Ambil contoh lari. Meski terlihat sederhana dan tidak memerlukan banyak peralatan, biaya yang dikeluarkan untuk hobi ini bisa jadi tidak sedikit. Sepatu lari dari merek lokal saja bisa berharga jutaan rupiah, apalagi untuk merek internasional. Belum lagi pengeluaran untuk outfit pelengkap lainnya seperti pakaian, topi, hingga perangkat wearable. Alhasil, untuk satu set perlengkapan lari, seseorang bisa menghabiskan jutaan rupiah.
Fenomena serupa juga terjadi pada Padel. Harga sebuah raket padel bisa berkisar antara Rp1,3 juta hingga Rp8 juta. Tentu ini belum termasuk biaya sewa lapangan, bola, dan perlengkapan lainnya. Angka-angka ini menunjukkan bahwa anggapan “olahraga murah” seringkali terpatahkan oleh realitas harga pasar.
Pada akhirnya, esensi sebenarnya dari olahraga adalah kesehatan. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa faktor “flexing” atau pamer menjadi pendorong lain di balik pengeluaran fantastis untuk perlengkapan olahraga. Kualitas, desain, atau merek tertentu seringkali dijadikan simbol status dan gaya hidup. Hal ini memunculkan pertanyaan menarik: apakah kita berolahraga untuk kesehatan sejati, atau justru terjebak dalam lingkaran konsumsi demi penampilan?
Pernyataan “sebenarnya olahraga itu murah yang mahal hanyalah flexing, akhirnya badan kita sehat tetapi dompet kosong” menjadi refleksi penting. Berolahraga memang bermanfaat bagi kesehatan fisik, tetapi jika diikuti dengan pembelian perlengkapan yang berlebihan demi gengsi, maka dampaknya bisa merugikan finansial. Tren olahraga pasca pandemi memang mendorong gaya hidup sehat, namun penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam membedakan antara kebutuhan fungsional dan keinginan konsumtif. Sehat itu prioritas, tapi keuangan yang stabil juga tak kalah penting