Gen Z, atau generasi milenial pasti tidak asing dengan nama Thanos. Karakter antagonis dalam semesta Marvel ini muncul sebagai sosok yang begitu kuat, penuh visi, dan tak mudah dikalahkan. Ia bukan hanya musuh biasa—ia adalah lambang dari ambisi besar yang dibalut dengan keyakinan bahwa ia melakukan hal yang benar.
Thanos memiliki satu pandangan hidup yang sederhana namun mengerikan: menyeimbangkan kehidupan semesta. Menurutnya, kehidupan akan lebih baik jika setengah populasi dihilangkan. Tujuan yang ekstrem, tapi dijalani dengan konsistensi luar biasa.
Demi ambisinya itu, Thanos membangun tim. Ia tidak berjalan sendirian. Anak buahnya tangguh, setia, dan memiliki kekuatan hampir menyamai dirinya. Ia sadar bahwa untuk mencapai tujuan besar, ia butuh kekuatan kolektif, butuh orang-orang yang percaya pada visinya.
Dan seperti yang kita saksikan di layar lebar, seluruh Avenger turun tangan untuk menghentikannya. Captain America, Thor, Iron Man, Black Panther, hingga Spider-Man bersatu melawan Thanos. Namun, semua itu belum cukup. Mereka tumbang, satu demi satu. Thanos menang telak.
Tapi menariknya, di Avengers: Endgame, saat Thanos sudah mendapatkan semua yang ia inginkan—semua Infinity Stone telah berada dalam genggamannya—ia justru melemah. Ia tak lagi mengguncang dunia. Hanya segelintir Avenger yang berhasil menemuinya, dan ia wafat tanpa banyak perlawanan. Seolah semua ambisinya telah habis, dan ia kehilangan alasan untuk terus berjuang.
Hidup kadang seperti itu. Saat manusia belum mendapatkan apa yang diimpikan, semangatnya menyala-nyala. Tapi ketika semua cita-cita sudah diraih, ia melemah. Ia kehilangan arah, kehilangan energi, bahkan kehilangan dirinya sendiri.
Begitu pula dalam kehidupan organisasi. Ada kalanya seseorang begitu aktif, begitu militan, karena ingin sesuatu. Tapi setelah apa yang ia kejar sudah ada di tangan, ia perlahan mundur. Nilai-nilai perjuangan yang dulu diagung-agungkan perlahan ditinggalkan. Organisasi hanya jadi alat, bukan rumah perjuangan.
Thanos sudah punya segalanya. Tapi pada akhirnya, ia kalah bukan karena musuh yang lebih kuat, tapi karena ia sendiri yang melemah. Dan seperti itulah hidup: yang sulit bukan hanya meraih impian, tapi menjaga semangat setelah impian itu diraih.