Kebijakan Menteri Keuangan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya untuk mengalihkan dana sebesar Rp. 200 triliun ke bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) adalah langkah yang berani dan ambisius. Di satu sisi, langkah ini menawarkan harapan baru bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga sarat akan risiko dan tantangan yang tidak bisa diremehkan.
Secara teoritis, gagasan di balik kebijakan ini cukup masuk akal. Ketika dana penerimaan pajak terlalu banyak “mengendap” di bank tanpa disalurkan kembali dalam bentuk kredit produktif, sirkulasi ekonomi di sektor riil akan tersendat. Akibatnya, dunia usaha kesulitan mendapatkan modal kerja, ekspansi terhambat, dan penciptaan lapangan kerja pun melambat. Dengan mengalihkan dana segar ke Himbara, pemerintah berharap dapat memicu kembali perputaran roda ekonomi, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang selama ini kesulitan mengakses pembiayaan. Hal ini didukung oleh asumsi bahwa UMKM memiliki peran vital dalam menyerap tenaga kerja.
Meskipun begitu, pertanyaan kritis yang muncul adalah apakah kebijakan ini akan berjalan sesuai rencana di lapangan. Pertama, ada tantangan terkait efektivitas penyaluran kredit. Mengalirkan dana ke bank-bank BUMN tidak secara otomatis menjamin dana tersebut akan disalurkan ke sektor yang tepat. Himbara, seperti bank komersial lainnya, memiliki pertimbangan risiko dalam menyalurkan kredit. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, ada potensi besar dana tersebut tidak mengalir ke sektor padat karya atau UMKM, melainkan justru mengendap dalam bentuk instrumen keuangan lain atau bahkan mengalir ke sektor yang tidak produktif. Risikonya juga menjadi perhatian serius. Jika pengawasan longgar, dana ini bisa disalahgunakan, entah untuk kepentingan pribadi atau bahkan dialokasikan ke proyek-proyek yang tidak layak secara ekonomi, hanya karena lobi politik.
Selain itu, optimisme pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi 6% juga perlu dilihat dengan lebih realistis. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada ketersediaan dana, melainkan juga pada banyak faktor eksternal lainnya, seperti stabilitas politik, iklim investasi, dan kondisi ekonomi global. Dana Rp200 triliun, meskipun besar, mungkin tidak cukup untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi ke angka ambisius tersebut jika tantangan struktural di sektor riil tidak diatasi. Masalah birokrasi yang berbelit, kurangnya inovasi, dan keterbatasan infrastruktur juga menjadi penghambat.
Pada akhirnya, kebijakan Menkeu Purbaya ini adalah ujian nyata bagi birokrasi dan institusi perbankan. Jika berhasil, Min Kyu Purbaya akan tercatat sebagai reformis yang berani dan mampu memberikan solusi konkret atas masalah struktural. Namun, jika gagal, kebijakan ini hanya akan menambah daftar panjang janji-janji ekonomi yang tidak terwujud, dan keraguan publik terhadap pemerintah akan semakin meningkat. Pembuktiannya terletak pada implementasi dan pengawasan, bukan hanya pada retorika dan angka-angka di atas kertas.