Dalam hiruk-pikuk dunia modern yang penuh distraksi, tekanan sosial, dan kebisingan informasi, kemampuan untuk escape atau melarikan diri sejenak dari rutinitas dan keramaian menjadi sebuah kebutuhan spiritual dan intelektual. Namun, konsep escape di sini bukan sekadar kabur dari kenyataan, melainkan proses kontemplatif untuk menaikkan taraf berpikir dan menemukan kembali makna hidup. Dari perjalanan para nabi hingga kisah budaya populer seperti Dragon Ball dan Avengers, prinsip “melarikan diri untuk melihat lebih jelas” ternyata adalah pola universal dalam proses pembentukan manusia yang sadar dan merdeka.
Kita bisa mulai dari sosok terbesar dalam sejarah manusia: Nabi Muhammad SAW. Beliau hidup di masa yang digambarkan penuh kerusakan moral dan sosial. Bayangkan, masyarakat yang menormalisasi penguburan bayi perempuan hidup-hidup, perbudakan, riba, dan eksploitasi kaum lemah. Sebuah dunia di mana kemanusiaan telah kehilangan arah. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah memilih untuk escape, menyepi ke Gua Hira. Di sanalah, dalam kesunyian dan kegelapan malam, wahyu pertama turun: “Iqra bismi rabbikalladzi khalaq” (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan).
Escape-nya Rasul bukan pelarian pasif, melainkan langkah aktif untuk mencari perspektif yang lebih tinggi. Ia naik secara fisik dan spiritual, melihat kehidupan manusia dari ketinggian, bukan dari keramaian. Dari proses kontemplatif itu, lahirlah gerakan terbesar dalam sejarah peradaban: Islam. Inilah pelajaran pertama bahwa kadang untuk menyelamatkan dunia, seseorang harus berani meninggalkan dunia itu sejenak.
Nabi Musa AS juga mengalami fase yang sama. Ia melarikan diri dari Mesir setelah secara tak sengaja membunuh seorang penjajah. Namun pelarian itu justru menjadi awal perjalanan spiritualnya. Di tanah Madyan, Musa menemukan tujuan, ketenangan, dan panggilan hidupnya sebagai pembebas. Escape bukan kegagalan, tapi jeda yang Allah berikan agar manusia siap untuk panggung berikutnya.
Menariknya, pola escape untuk naik level ini juga muncul dalam budaya populer modern. Dalam Dragon Ball, Goku masuk ke “Room of Spirit and Time” untuk berlatih dan menjadi versi terbaik dari dirinya. Dalam One Piece, Luffy dan teman-temannya mengalami time skip yaitu masa jeda di mana masing-masing anggota berlatih, merenung, dan kembali dengan kekuatan baru. Bahkan di Avengers: Endgame, para pahlawan harus mundur, mencari cara baru, dan meninjau ulang strategi mereka setelah separuh dunia musnah. Escape menjadi bagian dari strategi, bukan tanda menyerah.
Lalu bagaimana dengan kita, manusia modern yang setiap hari hidup di bawah tekanan pekerjaan, opini publik, dan algoritma media sosial yang membentuk cara berpikir kita? Mungkin kita juga butuh escape, bukan untuk kabur dari tanggung jawab, tetapi untuk menemukan ulang kesadaran diri.
Dalam konteks ini, escape bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan spiritual dan intelektual. Ustaz Felix Siauw dan Ray Rofi dalam percakapan mereka menggambarkan escape sebagai proses menaikkan tiga taraf kecerdasan: IQ, EQ, dan SQ.
Pertama, IQ, kemampuan berpikir logis dan kritis. Escape dari ketidaktahuan menuju pemahaman. Saat seseorang mulai bertanya dan menolak menerima segala sesuatu secara pasif, itu tanda IQ-nya sedang naik.
Kedua, EQ, kemampuan mengelola emosi dan membangun relasi dengan manusia lain. Setelah seseorang memahami sesuatu, ia harus mengimplementasikan ilmunya dalam interaksi sosial. Inilah bentuk escape dari ego menuju empati.
Ketiga, SQ, kecerdasan spiritual. Tahapan tertinggi di mana seseorang memahami bahwa kehidupan ini bukan hanya tentang materi, melainkan tentang hubungan dengan Tuhan dan makna keberadaan. Escape di sini menjadi perjalanan menuju kesadaran diri yang utuh.
Menariknya, bulan Ramadan sendiri disebut sebagai bulan escape. Sebulan penuh manusia diajak keluar dari kebiasaan, dari hawa nafsu, dari pola pikir materialistik menuju refleksi spiritual. Di bulan ini, malam-malam lebih dihargai daripada siang hari, karena di dalam gelap manusia lebih mudah mendengar bisikan hatinya.
Di puncaknya, ada Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Sebuah simbol bahwa dalam satu malam pencerahan, manusia bisa melampaui waktu. Tapi malam itu tidak datang begitu saja. Ia harus dicari, diburu, seperti kata para sahabat: “berburu Lailatul Qadar.” Bukan dengan nafsu, tapi dengan kesiapan spiritual. Layaknya pemburu yang mengenali polanya, mempersiapkan diri, dan sabar menunggu momen tepat, begitu pula manusia harus menyiapkan jiwa untuk menangkap cahaya ilahi.
Dalam perenungan ini, escape bukan tentang lari dari dunia, melainkan melangkah keluar agar bisa kembali dengan mata yang lebih tajam, hati yang lebih tenang, dan pikiran yang lebih jernih. Seperti biji yang tumbuh dalam gelap, manusia justru tumbuh ketika berani masuk ke ruang hening dan menatap dirinya sendiri.
Karena pada akhirnya, penjara terbesar bukan di luar sana, tetapi di kepala kita sendiri. Penjara pikiran yang membatasi pilihan, mengikat imajinasi, dan membuat kita takut untuk berpikir berbeda. Liberation of mind atau pembebasan pikiran adalah bentuk escape yang sejati. Dan seperti para nabi, pejuang, dan bahkan pahlawan fiksi yang kita kagumi, semuanya memulai langkah besarnya dengan satu hal sederhana: berani escape.