Kota Pasuruan selalu menarik untuk diamati. Bukan karena megah, bukan pula karena modern seperti tetangganya, Surabaya atau Malang, melainkan karena ia seperti remaja yang sedang bingung menentukan jati dirinya. Kota kecil ini berada di tengah-tengah Kabupaten Pasuruan, seperti pulau kecil yang dikelilingi lautan yang lebih besar. Ia adalah enclave administratif, tapi juga enclave secara psikologis. Warganya ingin maju seperti kota besar, namun tetap terikat dengan ritme dan nilai-nilai tradisional yang membuatnya berbeda.
Selama beberapa tahun terakhir, Pasuruan seperti belum juga selesai mencari siapa dirinya. Tagline kota berganti secepat tren kopi susu di media sosial. Dulu ada Pasuruan Tiba, kemudian Pasuruan Kota Pusaka, lalu Pasuruan Inspirasi, dan yang terakhir serta paling ramai dibicarakan, Kota Madinah. Setiap kali tagline baru muncul, warga seperti diberi harapan bahwa kali ini mungkin Pasuruan akan menemukan bentuknya. Namun setiap kali juga, semangat itu menguap perlahan, seiring waktu yang berjalan tanpa arah yang jelas.
Menariknya, justru ketika menggunakan nama “Kota Madinah”, Pasuruan tampak menemukan denyut baru. Icon Payung Madinah yang berada di Alun-alun membawa atmosfer religius dan semangat kebersamaan yang lebih terasa. Mungkin untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Pasuruan punya identitas yang dirasakan bersama oleh warganya.
Perubahan itu bahkan terlihat di jalan-jalan utama. Tempat-tempat makan baru bermunculan. Di mana dulu hanya ada warung kopi yang ramai, kini berdiri Pizza Hut, Recchesee Factory, dan berbagai merek kuliner yang sebelumnya hanya berani buka di kota menengah ke atas. Bagi banyak orang, ini tanda bahwa ekonomi Pasuruan mulai bergerak. Bahwa kota ini akhirnya menjadi tempat yang cukup menjanjikan untuk investasi.
Puncak dari semua itu mungkin adalah berdirinya Sandang Ayu Plaza di Jalan Wahidin. Mall baru ini menjadi simbol modernitas baru di tengah kota kecil yang selama ini lebih dikenal dengan pasar tradisionalnya. Sebelumnya, Sandang Ayu hanya punya satu cabang di dekat alun-alun. Sekarang, ekspansi besarnya menghadirkan deretan nama besar seperti JCO, Mako, dan Ichiban Sushi. Tiba-tiba, nongkrong di mall bukan lagi hal yang harus dilakukan di Malang atau Surabaya. Orang Pasuruan bisa melakukannya di kotanya sendiri.
Namun seperti biasa, setiap kemajuan punya bayangannya sendiri. Setiap kali ada supermarket baru berdiri, selalu ada satu yang bersiap-siap untuk tumbang. Pola ini sudah berulang kali terjadi. Tahun 2012, Giant di alun-alun yang dulu jadi langganan keluarga muda untuk membeli susu dan diapers anak pertama, akhirnya tutup beberapa tahun setelah Carrefour membuka cabang di Jalan Soekarno Hatta.
Tidak lama berselang, Carrefour pun mengalami nasib yang sama. Setelah menjadi tempat favorit untuk belanja kebutuhan anak kedua saya, supermarket besar itu mulai sepi pengunjung dan akhirnya menutup operasinya. Penyebabnya? Sama seperti sebelumnya, muncul pesaing baru, yaitu Sandang Ayu Plaza.
Kini, keluarga muda di Pasuruan, termasuk saya, berbelanja kebutuhan anak ketiga di Sandang Ayu Plaza. Tanpa sadar, kami sedang mengulang siklus yang sama. Kami menikmati kenyamanan baru, menikmati suasana yang nyaman dan berpendingin udara, sambil menunggu waktu menentukan siapa yang akan bertahan dan siapa yang akan tumbang berikutnya.
Pertanyaannya kemudian muncul secara alami. Mengapa dua supermarket besar seperti Giant dan Carrefour bisa tumbang di kota sekecil Pasuruan? Apakah pasar di kota ini memang tidak berkembang? Apakah ekonomi yang katanya tumbuh itu hanya terlihat di permukaan saja?
Jawabannya mungkin tidak sesederhana itu. Bukan pasar yang tidak berkembang, tapi mungkin Pasuruan sedang tumbuh dengan cara yang belum matang. Daya beli meningkat, tetapi tidak merata. Warga kota senang mencoba hal baru, namun mudah bosan. Sebuah fenomena yang sering terjadi di kota-kota kecil yang sedang bertransisi.
Pasuruan berada di antara dua ekstrem. Ia tidak cukup besar untuk menampung banyak pemain ritel modern, tapi juga tidak cukup kecil untuk dibiarkan stagnan. Akibatnya, setiap kali ada satu pemain baru datang, perhatian warga langsung tersedot ke sana. Semua orang ingin mencoba, ingin merasakan, ingin tahu. Tapi begitu rasa penasaran itu lewat, kehidupan kembali seperti semula. Ritme ekonomi menurun, dan satu per satu bisnis mulai goyah.
Selain itu, perilaku konsumsi warga Pasuruan juga cenderung pragmatis. Mereka tidak memiliki loyalitas yang kuat terhadap satu tempat belanja. Selama harga murah dan lokasinya mudah dijangkau, mereka akan berpindah dengan cepat. Supermarket besar seperti Carrefour atau Giant membutuhkan volume pembeli yang stabil, sementara di Pasuruan, pasar konsumen masih terlalu cair untuk menopang model bisnis seperti itu.
Masalah lain yang jarang dibicarakan adalah struktur kota yang kecil. Radius belanja warga tidak luas. Dalam jarak lima kilometer, ada pasar tradisional, toko kelontong, minimarket, hingga mall baru. Semua bersaing dalam ruang yang sama. Akibatnya, perputaran uang berfokus di titik-titik tertentu saja. Kota ini seperti kolam kecil yang airnya diaduk terus-menerus, tapi tidak bertambah banyak.
Namun, di balik semua itu, Pasuruan tetap menarik. Karena kota ini sebenarnya sedang bereksperimen dengan identitasnya sendiri. Ia sedang mencoba berbagai cara untuk menjadi “kota yang berarti”. Kadang lewat tagline religius seperti Kota Madinah, kadang lewat semangat modernitas dengan berdirinya mall dan restoran cepat saji. Dua hal yang tampak bertolak belakang, tapi justru memperlihatkan sisi ganda Pasuruan yang paling jujur.
Pasuruan ingin menjadi kota religius, tapi juga ingin punya mall. Ingin menjaga nilai tradisi, tapi juga ingin terasa modern. Ingin dikenal, tapi tidak ingin kehilangan kedekatan sosial antarwarga yang selama ini menjadi daya tarik utamanya. Di sinilah letak pergulatannya.
Krisis identitas ini bukan hal buruk. Setiap kota kecil yang tumbuh cepat pasti mengalaminya. Hanya saja, Pasuruan perlu belajar dari masa lalunya. Bahwa kemajuan tidak selalu datang dari banyaknya merek besar yang masuk, melainkan dari seberapa kuat fondasi lokalnya dibangun. Bahwa ekonomi tidak bisa tumbuh hanya dari rasa penasaran sesaat, tapi dari konsistensi dan karakter.
Mungkin, pada akhirnya, Pasuruan akan benar-benar menemukan bentuknya. Entah nanti ia menjadi kota religius yang berdenyut ekonomi, atau kota modern yang tetap hangat dan bersahaja. Yang jelas, Pasuruan sedang berjalan ke arah itu, meski kadang jalannya berputar, pelan, dan penuh ragu. Dan mungkin itu baik-baik saja. Karena seperti manusia, setiap kota berhak tumbuh dalam kecepatannya sendiri.
Pasuruan mungkin belum sepenuhnya matang. Namun di balik kegelisahan dan perubahan yang terus terjadi, ada semangat yang tidak pernah padam. Semangat untuk hidup, untuk berkembang, dan untuk menjadi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sekarang. Di tengah pergeseran dan pergantian, Pasuruan tetap berdiri, mencoba mengenali dirinya sendiri, sambil terus berbisik pelan, aku masih ada, aku masih tumbuh, dan suatu hari nanti aku akan tahu siapa diriku sebenarnya.
			
			












