Pasuruan, 5 Oktober 2025 – Dr. Drs. H. Atim Subekti, M.Pd.I., M.Phi. dalam kajian Ahad pagi di Masjid Darul Arqom Kota menyampaikan refleksi mendalam tentang filosofi hidup berdasarkan Al-Qur’an. Ia menekankan bahwa hidup sejatinya adalah gerak yang berkelanjutan, sebagaimana sunatullah. Hidup identik dengan air selalu mengalir, tidak pernah diam, dan terus menyesuaikan bentuknya. Manusia pun harus demikian yaitu tidak berhenti berusaha, tidak menyerah pada keadaan, dan terus bergerak menuju kebaikan. Hidup bukan tentang lamanya waktu yang dijalani, tetapi tentang kualitasnya. Sebagaimana sebuah cerita, yang penting bukan panjang atau pendeknya, melainkan apakah ceritanya indah dan bermakna.
Ustadz Atim kemudian mengutip Surah Ar-Ra’d ayat 11, bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Ayat ini menjadi dasar penting bagi perubahan hidup manusia. Perubahan sejati, kata beliau, dimulai dari dalam diri, dari sikap dan potensi yang kita miliki. Sikap (attitude) lebih utama daripada sekadar kapasitas atau kepintaran. Banyak orang cerdas gagal bukan karena kurang kemampuan, melainkan karena sikap yang buruk. Agama mengajarkan agar kita menata hati dan memperbaiki perilaku, sebab sikap yang baik akan melahirkan keberkahan. Manusia sejatinya lahir dalam fitrah yang suci dan baik, tetapi sering kali tergelincir oleh pilihan dan perbuatannya sendiri. Maka menjaga fitrah adalah bagian dari tanggung jawab spiritual. Bahkan sejak dalam kandungan, pendidikan sudah bisa dimulai. Janin dapat merasakan ketenangan ketika ibunya rajin beribadah, membaca Al-Qur’an, dan berselawat.
Dalam pembahasan tentang rezeki, Ustadz Atim menegaskan bahwa rezeki tidak datang dengan sendirinya. Berdasarkan Surah Al-Mulk ayat 15, Allah memerintahkan manusia untuk berjalan di muka bumi dan mencari rezeki dengan usaha. Rezeki adalah bagian dari takdir, tetapi usaha adalah kewajiban. Ia mencontohkan burung yang setiap hari keluar dari sarang untuk mencari makan; Allah tidak menurunkan makanan langsung ke sarangnya. Begitu pula manusia harus berusaha dengan keterampilan dan ilmu, karena di masa kini persaingan hidup semakin ketat. Seorang tukang servis TV, misalnya, dibayar mahal bukan karena waktu kerjanya yang singkat, melainkan karena mahalnya proses belajar dan keterampilan yang dimiliki. Namun di atas semua itu, manusia harus memiliki prinsip cukup (qana’ah). Kekayaan tidak menjamin ketenangan, nafsu manusia tak akan pernah kenyang kecuali tertimbun tanah kubur. Hidup yang cukup berarti tubuh sehat, keluarga harmonis, sahabat baik, dan kemampuan menabung meski sedikit.
Kunci kebahagiaan sejati, menurut Ustadz Atim, terletak pada tiga hal: cinta kepada Rasulullah sebagai teladan hidup, memiliki harapan untuk masa depan, dan selalu memiliki sesuatu yang dikerjakan. Sikap yang benar akan menuntun pikiran dan tindakan. Orang yang memandang aktivitasnya sebagai kebutuhan akan lebih bersemangat daripada yang menganggapnya beban. Ia juga mengingatkan bahaya kebencian yang hanya merusak diri sendiri, karena kebencian menimbulkan stres dan melemahkan daya ingat. Belajar yang sejati, ujarnya, bukan hanya membuat otak pintar, tetapi menyentuh hati nurani. Sebab, kecerdasan sejati ada pada hati yang menggerakkan tangan untuk berbuat baik. Di akhir kajian, Ustadz Atim menegaskan bahwa kebanggaan sejati bukanlah ketika seseorang menjadi bintang kelas, tetapi ketika ia tumbuh menjadi manusia berakhlak mulia.
Editor: Marjoko