Dahulu kala, di sebuah negeri bernama Nainawa, yang kini terhampar di utara Irak, kegelapan pekat menyelimuti jiwa-jiwa manusia. Mereka tersesat dalam biduk kesyirikan, memuja berhala-berhala yang bisu dan tak berdaya. Di tengah lautan kebatilan ini, Allah Yang Maha Pengasih mengutus seorang hamba-Nya yang mulia, Nabi Yunus bin Matta AS. Sendirian, beliau memanggul amanah dakwah yang begitu berat, menyerukan tauhid di hadapan hati-hati yang membatu. Hari demi hari, seruan kebenaran beliau bergaung, namun tak satu pun hati kaum Nainawa yang terbuka.
Frustrasi dan keputusasaan mulai menggerogoti. Setelah perjuangan yang terasa tiada akhir, Nabi Yunus memohon kepada Allah untuk dialihkan ke kaum lain yang lebih mau mendengarkan. Bahkan, beliau mengultimatum kaum Nainawa dengan ancaman azab yang akan datang dalam tiga hari jika mereka tak kunjung beriman. Namun, dalam gejolak batinnya, beliau membuat sebuah kekhilafan fatal: tanpa menunggu izin Allah, tanpa perintah ilahi yang seharusnya menjadi panduan bagi setiap nabi, Nabi Yunus memutuskan untuk meninggalkan Nainawa.
Keputusan itu, meskipun didasari niat baik untuk mencari ladang dakwah yang lebih subur, adalah sebuah kesalahan di mata Ilahi. Allah, Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengatur, berkehendak memberikan pelajaran mendalam kepada hamba-Nya yang tercinta ini.
Yunus berjalan gontai hingga mencapai sebuah pelabuhan. Ia naik ke sebuah kapal yang penuh sesak, berharap menemukan kedamaian di tempat yang jauh. Namun, lautan seolah murka. Angin badai mengamuk, ombak raksasa menghantam, dan kapal terombang-ambing tak berdaya, nyaris karam. Nahkoda kapal, dengan wajah pucat pasi, menyerukan agar beban dikurangi. Mereka membuang harta benda, namun badai tak jua mereda. Akhirnya, dalam keputusasaan, mereka memutuskan untuk melakukan undian – sebuah undian hidup dan mati – untuk menentukan siapa yang harus dikorbankan demi menyelamatkan yang lain.
Nama-nama penumpang ditulis di kepingan kayu, lalu diundi. Undian pertama, sebuah nama muncul. Yunus. Mereka mengulanginya, berharap itu hanya sebuah kebetulan. Namun, lagi-lagi, nama Yunus muncul. Untuk ketiga kalinya, nasib menunjuk kepada beliau. Para penumpang terkesima, mungkin ada di antara mereka yang mengenal Yunus sebagai utusan Allah, dan kebingungan meliputi mereka. Namun, Nabi Yunus, dengan hati yang remuk redam, bangkit. Beliau tahu, ini adalah teguran langsung dari Rabb-nya. Ini adalah buah dari keputusannya meninggalkan tugas tanpa izin.
Dengan tekad yang bulat, namun dengan perasaan menyesal yang mendalam, ia melangkah ke tepi kapal. Menatap ombak yang siap menelannya, tanpa ragu, ia melompat! Pada saat tubuhnya menembus permukaan air, dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, seekor ikan paus raksasa yang terkenal muncul dan menelannya bulat-bulat. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram, atau yang kita kenal sebagai Hari Asyura, sebuah hari yang penuh makna dalam sejarah kenabian.
Di dalam kegelapan yang absolut, di kedalaman samudra yang sunyi, Nabi Yunus alaihissalam terperangkap dalam perut ikan paus. Sebuah tempat di mana manusia biasa akan hancur lebur, remuk tulangnya, dan tak bersisa. Namun, mukjizat Allah menaungi beliau. Tubuhnya tetap utuh, hatinya terjaga. Dalam keputusasaan yang mencekik, dalam keterasingan yang tak terbayangkan, beliau menyadari sepenuhnya kekhilafannya. Di tengah kegelapan yang pekat, sebuah cahaya taubat menerangi jiwanya. Beliau tak henti-hentinya melafazkan munajat agung yang kini dikenal sebagai “Doa Dzun Nun”:
“La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin.” (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.)
Beliau tak meminta diselamatkan dari perut ikan, tak meminta kesehatan atau kemewahan. Beliau hanya mengakui dosanya, mengakui kezalimannya di hadapan Yang Maha Adil. Inilah puncak kerendahan hati, sebuah pengakuan tulus yang mengguncang arsy.
Seandainya Nabi Yunus tidak termasuk orang-orang yang senantiasa berdzikir dan bertaubat, niscaya ia akan tetap terkurung dalam perut ikan itu hingga Hari Kebangkitan. Namun, lantaran tasbih dan taubatnya yang murni, Allah Yang Maha Mendengar mengabulkan doanya. Ikan paus itu pun memuntahkan Nabi Yunus ke sebuah tanah yang tandus dan gersang, dalam keadaan sakit dan lemah.
Namun, karunia Allah tak pernah berhenti. Di tanah yang tak bersahabat itu, Allah menumbuhkan sebatang pohon labu yang rindang, yang buahnya menjadi penawar dan penguat bagi Nabi Yunus yang sedang lemah. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan tentang seekor sapi yang susunya ia perah untuk memulihkan kekuatannya. Setelah pulih dan jiwanya kembali tenang, perintah Allah turun: Kembalilah ke Nainawa!
Sementara itu, di Nainawa, setelah kepergian Nabi Yunus, tanda-tanda azab Allah mulai tampak jelas. Langit menggelap dengan awan badai, hujan deras turun, dan ketakutan mencekam hati penduduk. Dalam kepanikan yang luar biasa, kepala suku mereka, dengan kearifan ilahi yang menggerakkan hatinya, menyerukan taubat total. Seluruh penduduk Nainawa, yang berjumlah lebih dari 100.000 jiwa, bersimpuh, menangis, memohon ampun kepada Allah. Keimanan dan taubat tulus mereka yang datang di saat-saat terakhir ini adalah mukjizat yang luar biasa. Mereka adalah satu-satunya kaum dalam sejarah yang berhasil menolak azab Allah yang telah hampir tiba, hanya dengan kekuatan taubat kolektif mereka.
Ketika Nabi Yunus kembali ke Nainawa, beliau mendapati sebuah pemandangan yang tak terduga. Kaum yang dulu menolaknya kini telah beriman sepenuhnya, menanti kepulangan beliau dengan kerinduan yang mendalam. Allah pun menganugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Kisah Nabi Yunus ini menjadi bukti nyata tentang kekuatan taubat, harapan tak terbatas pada rahmat Allah, dan kemuliaan kerendahan hati.
Kisah Nabi Yunus juga mengajarkan tentang kedudukan agung para nabi Allah. Nabi Muhammad SAW, utusan termulia, bersabda, “Tidak patut bagi seorang hamba untuk mengatakan, ‘Aku lebih baik daripada Yunus bin Matta.'” Hadis ini, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bukan hanya menegaskan kemuliaan Nabi Yunus, tetapi juga secara luas, kemuliaan seluruh nabi Allah.
Pelajaran terbesar dari kisah ini adalah tentang kekuatan kerendahan hati (tawadhu) dan pengakuan dosa yang tulus. Saat seseorang merasa dirinya lebih baik dari yang lain, ia jatuh ke dalam jurang kesombongan, sifat yang paling dibenci Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sedekah tidaklah mengurangi harta, tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya, dan tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu atau rendah hati karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)
Ini adalah janji ilahi: Semakin seseorang merendahkan diri di hadapan Allah, semakin tinggi pula derajatnya di sisi-Nya. Kisah Nabi Yunus mengajarkan bahwa bahkan seorang nabi pilihan pun bisa melakukan kekhilafan, dan kunci untuk kembali kepada rahmat Allah adalah dengan mengakui kesalahan tanpa sungkan dan berserah diri sepenuhnya. Kemuliaan sejati bukan pada kesempurnaan tanpa cacat, melainkan pada kemampuan untuk bangkit dari kesalahan dengan taubat yang tulus dan tawadhu yang mendalam.