Generasi milenial seringkali menjadi bahan perbincangan, dikritik karena dianggap terlalu bergantung pada gawai atau terlalu individualis. Namun, di balik stereotip tersebut, terdapat sebuah revolusi diam-diam dalam pola pengasuhan yang patut untuk diapresiasi. Generasi ini tidak hanya mewarisi nilai-nilai dari orang tua mereka, tetapi dengan berani memilih untuk memutus mata rantai pola asuh yang dianggapnya tidak lagi relevan dan bahkan toxic. Mereka hadir dengan sebuah misi, membangun keluarga yang berpusat pada kehadiran dan kelekatan emosional, bukan pada citra dan penilaian sosial.
Orang tua milenial tumbuh di persimpangan zaman, mereka merasakan sisa-sisa pola asuh otoriter generasi sebelumnya, sekaligus terpapar oleh derasnya informasi psikologi dan kesadaran akan kesehatan mental melalui internet. Pengalaman inilah yang membentuk kesadaran kolektif, bahwa menjadi orang tua yang baik bukanlah tentang menciptakan ilusi keluarga sempurna di mata orang lain. Prioritas mereka bergeser dari “bagaimana keluarga kami dilihat” menjadi “bagaimana perasaan anak-anak kami”. Perubahan fundamental ini adalah akar dari revolusi pengasuhan mereka.
Salah satu wujud nyata dari perubahan ini adalah keberanian untuk menetapkan batasan, bahkan terhadap keluarga besar sendiri. Konsep “darah lebih kental dari air” tidak lagi diterima begitu saja. Bagi milenial, hubungan keluarga yang sehat adalah hubungan yang saling menghormati, bukan hubungan yang dipaksakan dan penuh dengan dinamika toxic. Mereka tidak ragu untuk membatasi atau memutus interaksi dengan anggota keluarga, entah itu kakek, nenek, atau paman, yang secara konsisten merusak harga diri anak atau menciptakan lingkungan emosional yang tidak aman. Tindakan ini bukanlah bentuk ketidakhormatan, melainkan bentuk perlindungan tertinggi terhadap kesejahteraan psikologis anak-anak mereka.
Selain itu peran ayah milenial mengalami transformasi signifikan dalam revolusi ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah milenial lebih dekat dengan anak karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh, lebih terlibat dalam kegiatan sehari-hari, dan memiliki pandangan yang lebih egaliter tentang pembagian peran pengasuhan dibandingkan generasi ayah sebelumnya. Keterlibatan ini didorong oleh keinginan untuk menjadi ayah yang lebih hadir secara emosional dan memutus siklus pola asuh yang kaku dari generasi sebelumnya. Perubahan ini memperkuat fondasi keluarga yang setara dan mendukung kesehatan mental semua anggota.
Di dalam rumah tangga mereka sendiri, orang tua milenial berusaha menciptakan ruang aman bagi anak untuk merasakan dan mengungkapkan semua emosinya, tanpa takut dihukum atau diabaikan. Mereka memahami bahwa amarah, kesedihan, dan kekecewaan adalah bagian dari perkembangan manusia. Alih-alih mengatakan “jangan menangis” atau “anak laki-laki tidak boleh cengeng”, mereka mengajak anak untuk mengidentifikasi perasaan tersebut. Kalimat seperti “Ibu/Ayah lihat kamu sedang marah. Mau cerita kenapa?” menjadi bahasa pengasuhan yang baru. Pendekatan ini bertujuan untuk membesarkan anak yang mengenali emosinya sendiri, sehingga pada akhirnya menjadi individu yang resilient dan berempati tinggi.
Pada akhirnya, yang diperjuangkan oleh generasi milenial adalah sebuah warisan yang tidak kasat mata, kesehatan mental. Mereka adalah generasi jembatan yang menanggung beban untuk memutus siklus trauma turun-temurun. Mereka mungkin masih melakukan kesalahan, karena tidak ada pola asuh yang sempurna. Namun, niat dan kesadaran mereka sudah berada pada jalur yang tepat. Dengan fokus pada kehadiran, komunikasi, dan batasan yang sehat, generasi milenial bukan hanya membesarkan anak-anak mereka, melainkan mereka sedang membangun fondasi untuk generasi berikutnya agar tumbuh dengan suara yang lebih lantang, perasaan yang lebih dimengerti, dan kebahagiaan yang lebih utuh. Inilah wujud cinta mereka yang paling nyata yaitu berani mengubah tradisi untuk masa depan anak-anak yang lebih baik.