Sejak Muktamar Khususi Tarjih yang diadakan di Sidoarjo pada tahun 1968, Muhammadiyah telah menyatakan pandangannya mengenai program Keluarga Berencana. KB menurut Muhammadiyah merupakan usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan keluarga, terutama anak-anak. Dengan begitu, tujuan dari Keluarga Berencana sejalan dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Untuk mendukung pernyataan ini, terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yaitu Q.S. An-Nisa’ (4):9, An-Nahl (16):72, dan Ar-Rum (30):21, yang menekankan pentingnya peningkatan kualitas hidup dalam konteks keluarga.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa [4] : 9)
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah?” (An-Nahl [16] : 72)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum [30] : 21)
KB Menurut Muhammadiyah Berdasarkan Keputusan Tarjih

Rentang waktu yang ideal antara kelahiran anak dianggap sebagai suatu kebijakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keimanan. Keputusan ini memperoleh validitas dari fatwa tarjih Muhammadiyah yang dikeluarkan pada tahun 1968 di Sidoarjo. Dalam fatwa tersebut, KB menurut Muhammadiyah diperbolehkan dalam situasi darurat dengan ketentuan adanya kesepakatan antara suami dan istri serta tidak menimbulkan bahaya, baik bagi kesehatan fisik maupun mental.
Kriteria keadaan darurat mencakup kepentingan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan ibu, yang ditegaskan dalam Surah al-Baqarah ayat 195:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Selain itu, Surah an-Nisa ayat 29 juga menegaskan:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Kekhawatiran tentang kondisi kesehatan atau pendidikan anak, yang diakibatkan oleh jarak kelahiran yang terlalu dekat, juga menjadi alasan yang dapat dipahami, sesuai dengan sabda Nabi SAW.
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Jangan bahayakan [dirimu] dan jangan membahayakan [orang lain]” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dalam perspektif Islam, pengaturan jarak antara kelahiran tidak dianggap bertentangan dengan prinsip syariat, melainkan merupakan wujud tanggung jawab moral dan spiritual yang sesuai dengan ajaran Allah SWT. Al-Qur’an dengan tegas menekankan pentingnya memperhatikan kesejahteraan anak, seperti yang dinyatakan dalam surah an-Nisa ayat 9 yang telah dibahas sebelumnya.
Ayat ini menegaskan pentingnya tanggung jawab kita untuk tidak membiarkan anak-anak berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, baik dari segi fisik, mental, maupun spiritual. Ketika jarak kelahiran terlalu rapat, perhatian ibu kepada anak yang lebih tua mungkin terabaikan, yang bisa berdampak negatif pada pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Dengan demikian, mengatur jarak kelahiran dapat dianggap sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah dalam menjaga amanah yang diberikan melalui keturunan. Dalam Al-Qur’an, tepatnya Surah al-Ahqaf ayat 15, disebutkan:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“Dan Kami telah perintahkan manusia agar berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dengan derita dan melahirkan dengan derita, lama mengandungnya dan melepaskannya dari susuan adalah tiga puluh bulan.”
Ayat ini menekankan bahwa masa hamil dan menyusui, yang berkisar sekitar 30 bulan, merupakan fase yang sarat akan pengorbanan bagi seorang ibu. Pengorbanan ini tidak hanya memerlukan ketahanan fisik, tetapi juga kesiapan dalam aspek emosional dan spiritual. Oleh karena itu, memberikan jarak yang memadai sebelum kehamilan selanjutnya adalah cara untuk menghargai perjuangan sang ibu, sekaligus memastikan bahwa anak yang sudah lahir menerima perhatian yang sepenuhnya pada periode pertumbuhan yang sangat penting.
Surah al-Baqarah ayat 233 juga memperkuat panduan ini:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Dan para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi orang yang menginginkan menyempurnakan penyusuan.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa periode menyusui selama dua tahun merupakan waktu yang paling tepat untuk memastikan anak menerima nutrisi dan cinta secara maksimal. Apabila kehamilan selanjutnya terjadi dalam waktu yang terlalu singkat, ibu dapat mengalami tekanan yang lebih, sehingga berpotensi mengurangi perhatian dan perawatan bagi anak yang masih disusui.
Dalam penerapannya, pengaturan jarak kelahiran memerlukan pemahaman yang cukup mengenai berbagai metode pengaturan keluarga, mulai dari yang paling dasar hingga penggunaan alat kontrasepsi yang sesuai dengan hukum agama. Berkonsultasi dengan profesional kesehatan dan pemuka agama adalah langkah vital untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya mempertimbangkan aspek duniawi, tetapi juga sejalan dengan kehendak Allah. Hal ini dikuatkan dalam Surah al-Baqarah ayat 185.
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Demikian pula dalam Surah al-Ma’idah ayat 6:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu.”
Pada akhirnya, merencanakan jarak kelahiran merupakan ungkapan cinta terhadap anak, penghargaan bagi ibu, serta kepatuhan kepada Allah. Ini mencerminkan keseimbangan antara tanggung jawab sebagai hamba dan kasih sayang sebagai orang tua.
Sumber Referensi:
1. muhamamdiyah.or.id
2. aisyiah.or.id