Di antara lembayung senja Mesir Kuno yang megah, terukirlah sebuah kisah tentang seorang pemuda yang dianugerahi ketampanan tak terkira, yang sinarnya bahkan melampaui gemerlap istana Fir’aun. Dialah Yusuf, putra pilihan Nabi Yakub, yang pesonanya mampu membius setiap mata yang memandang, bahkan hingga jantung para wanita di seantero Mesir berdebar tak karuan.
Ketampanan Yusuf adalah pedang bermata dua. Ia menjadi pusat perhatian, namun juga target godaan yang membara. Zulaikha, sang Ratu Mesir, ibu angkatnya sendiri, tak kuasa menahan gejolak asmara yang melingkupi hatinya. Dalam kesendirian kamarnya, ia menjebak Yusuf, mengunci rapat pintu, dan melancarkan rayuan paling mematikan. Namun, Yusuf, dengan iman yang kokoh bagai karang, menolak setiap bujuk rayu. Ia bergegas melarikan diri, seolah dikejar bayangan nafsu yang gelap.
Dalam pelariannya, ia melintas di hadapan patung-patung berhala yang disembah kaum Mesir. Zulaikha, yang mengejar di belakangnya, dengan tergesa menutupi patung itu, seolah rasa malu masih menyisa di hatinya. Saat itulah, lisan Yusuf berucap dengan lantang, “Subhanallah! Engkau merasa malu pada patung yang tak bernyawa, mengapa tidak malu kepada Allah Yang Maha Melihat?”
Namun, amarah dan hasrat Zulaikha telah menumpulkan rasa malunya. Ia terus mengejar, menarik jubah Yusuf hingga kain itu koyak di bagian belakang, tepat ketika pintu kamar terbuka dan Raja Mesir berdiri di ambang. Zulaikha yang licik, dengan air mata palsu dan tuduhan keji, langsung membalikkan keadaan, menuding Yusuf sebagai pihak yang hendak berbuat nista.
Raja, yang dikenal bijaksana, memanggil Hakim istana. Putusan pun dikeluarkan: jika jubah Yusuf robek di bagian depan, maka ia bersalah; namun, jika koyak di belakang, Zulaikha lah pendusta. Dan kebenaran pun tersingkap: jubah Yusuf robek di belakang, sebuah bukti nyata akan kesucian dan ketidakbersalahannya.
Kabar ini bagai riak di air tenang, menyebar ke seluruh penjuru Mesir. Rasa penasaran membuncah di hati para wanita bangsawan, ingin menyaksikan sendiri ketampanan yang mampu menggoyahkan iman seorang Ratu. Zulaikha, dengan siasat liciknya, mengundang mereka ke sebuah acara. Ia menyediakan pisau tajam dan apel ranum. Ketika Yusuf muncul, cahaya wajahnya bagai matahari yang memancar, membuat para wanita itu terpana. Mereka begitu terbuai, hingga tanpa sadar, bukan apel yang terpotong, melainkan jemari mereka sendiri.
“Inilah sebabnya aku tergila-gila padanya!” seru Zulaikha, dengan senyum kemenangan. “Kalian baru melihatnya sesaat saja sudah melukai diri. Bagaimana denganku yang setiap hari bersamanya?” Lalu, dengan ancaman yang dingin, ia berkata kepada Yusuf, “Atau kau penuhi hasratku, atau penjara menantimu!”
Yusuf, dengan suara bergetar namun penuh keteguhan, menengadah ke langit. “Ya Allah,” doanya, “penjara lebih aku sukai daripada apa yang mereka ajak kepadaku.”
Bertahun-tahun berlalu di balik dinginnya jeruji besi. Yusuf, sang pemuda tampan, kini mendekam dalam kegelapan penjara. Suatu hari, Malaikat Jibril hadir, membawa cahaya ilahi. Yusuf, dengan hati yang merana, bertanya mengapa Allah membiarkannya terkurung begitu lama. Jibril pun berbisik, “Allah membiarkanmu di sini, karena engkaulah yang meminta penjara.” Sebuah pelajaran pahit yang menghunjam: janganlah pernah meminta hal-hal buruk atau yang tak mampu kita tanggung, sebab doa adalah pedang bermata dua.
Kisah ini adalah pengingat abadi akan kekuatan doa. Doa yang kita panjatkan, terutama doa kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat, seperti untaian kata-kata Nabi Muhammad SAW: “Rabbana Atina Fiddunya Hasanah Wa Fil Akhirati Hasanah Wa Qina Adzabannar” (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka).
Lebih dari itu, kisah Yusuf adalah seruan untuk bersyukur. Bersyukur atas setiap karunia, sekecil apa pun. Jangan pernah mengeluh, jangan pernah berputus asa, sebab Allah tidak menyukai hamba-Nya yang ingkar dan tak berterima kasih. Bahkan di kala lapang dan sehat, tetaplah berdoa dan bersyukur, karena itulah bekal terkuat saat badai kesulitan datang. Ingatlah, mengenal Tuhan saat senang akan membuat-Nya mengenal kita saat duka.
Di sisi lain, kisah Yusuf juga adalah tentang anugerah Ilahi yang luar biasa: kemampuan menafsirkan mimpi. Kisah ini kembali bergulir ketika Raja Mesir dilanda kegelisahan oleh sebuah mimpi yang membingungkan: tujuh sapi betina gemuk dimakan oleh tujuh sapi betina kurus, serta tujuh gandum hijau dan tujuh gandum kering. Para penafsir mimpi kerajaan terdiam, menganggapnya tak bermakna.
Namun, seorang pelayan istana, yang pernah ditolong Yusuf dengan tafsir mimpinya di penjara, teringat akan sang pemuda yang kini meringkuk di balik jeruji. Ia yakin, hanya Yusuf yang mampu membuka tabir misteri ini. Setelah mendengar mimpi raja, Yusuf, dengan kebijaksanaan yang memancar, memberikan tafsiran yang jelas dan menyejukkan.
Ia menjelaskan bahwa mimpi itu adalah sebuah peringatan Ilahi. Tujuh sapi gemuk dan tujuh gandum hijau melambangkan tujuh tahun masa subur yang akan datang, di mana bumi akan melimpah ruah dengan hasil panen. Yusuf menekankan pentingnya menyimpan hasil panen dengan cermat, hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari, tanpa berlebihan. Setelah itu, akan tiba tujuh tahun kekeringan dan penderitaan, yang dilambangkan oleh tujuh sapi kurus dan tujuh gandum kering. Di masa sulit ini, persediaan pangan yang telah disimpan akan menjadi penyelamat. Namun, setelah masa paceklik itu berakhir, hujan akan kembali turun, menandai kembalinya kesuburan dan kebahagiaan.
Terkesima dengan penjelasan ini, sang pelayan segera menghadap raja. Meskipun terkejut, raja segera memerintahkan agar Yusuf dibawa ke hadapannya. Ketika Yusuf memaparkan tafsirannya secara langsung, raja tak lagi ragu. Kebijaksanaan dan kebenaran terpancar dari setiap ucapan Yusuf.
Tanpa ragu, Raja Mesir menyerahkan kekuasaan penuh kepada Yusuf untuk mengelola persiapan menghadapi musim kemarau panjang. Di bawah kepemimpinan Yusuf, Mesir berhasil melewati masa-masa sulit itu dengan gemilang. Tak ada kelaparan, tak ada penderitaan yang tak tertanggulangi, semua berkat perencanaan matang dan pengelolaan bijaksana Yusuf.
Sebagai bentuk penghargaan, raja membebaskan Yusuf dari segala tuduhan. Peristiwa ini, yang menjadi penanda kebebasannya setelah sekian lama di balik jeruji, diyakini terjadi pada tanggal 10 Muharram, yang dikenal sebagai Hari Asyura. Bahkan, Yusuf menjelaskan kepada raja tentang insiden dengan Zulaikha, dan Zulaikha sendiri akhirnya mengakui kesalahannya. Namun, Yusuf, dengan jiwa besar seorang nabi, tidak membalas dendam atau mempermalukan Zulaikha.
Atas kemampuannya yang luar biasa dalam menjaga harta dan pengetahuannya yang luas, Yusuf diangkat menjadi orang kepercayaan raja dan bendahara negara. Dengan kekuasaan dan kebijaksanaannya, ia berhasil meningkatkan kemakmuran masyarakat Mesir, membawa mereka menuju puncak kejayaan.
Kisah Yusuf tidak hanya tentang ketampanan rupa atau kemampuan menafsirkan mimpi. Ia adalah epos tentang kekuatan pengampunan. Yusuf, sang putra yang dibuang saudara-saudaranya ke dalam sumur di masa kecil, akhirnya bertemu kembali dengan mereka. Dengan hati yang lapang, ia memaafkan setiap kesalahan, menunjukkan kebesaran jiwa seorang nabi. Sejak kecil, Nabi Yusuf telah memiliki tanda-tanda kenabian, seperti mimpinya tentang sebelas bintang, bulan, dan matahari yang bersujud kepadanya, sebuah mimpi yang pada akhirnya terwujud ketika keluarganya tunduk di hadapannya.
Kisah Nabi Yusuf Alaihissalam adalah permata berharga yang mengajarkan tentang kesabaran di tengah cobaan, kebijaksanaan dalam menghadapi kesulitan, keadilan dalam setiap keputusan, dan kekuatan pengampunan yang tak terbatas. Kisah ini adalah pengingat abadi untuk selalu berserah diri kepada kehendak Ilahi, memanfaatkan anugerah yang diberikan, dan menghadapi setiap badai hidup dengan keteguhan hati.
