Penerapan strategi pemasaran psikologis, terutama yang menargetkan anak-anak, menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan Muslim. Hal ini tidak hanya dipandang sebagai penetrasi produk, tetapi juga sebagai upaya sistematis untuk menanamkan nilai-nilai liberal Barat yang bertentangan dengan ajaran Islam, khususnya di kalangan generasi muda.
Kisah sukses Nestlé dalam mengubah preferensi masyarakat Jepang terhadap kopi telah menjadi studi kasus klasik dalam dunia pemasaran. Mereka tidak langsung menjual kopi kepada orang dewasa, melainkan memperkenalkan rasa kopi melalui berbagai produk camilan dan minuman anak-anak. Tujuannya jelas: membangun memori rasa dan kedekatan emosional sejak dini, sehingga saat dewasa, kopi menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup mereka.
Namun, strategi serupa kini dicermati dengan waspada oleh komunitas Muslim. Kekhawatiran muncul bahwa metode yang terbukti sangat efektif ini kini digunakan untuk menyebarkan ideologi dan nilai-nilai yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam. Isu seperti LGBT dan pandangan hidup yang cenderung sekuler-liberal disebut-sebut mulai menyusup melalui berbagai media dan produk yang ditujukan bagi anak-anak.
“Anak-anak adalah target empuk karena mereka masih dalam tahap pembentukan nilai dan identitas,” ujar seorang pengamat sosial yang enggan disebut namanya. “Jika sejak kecil mereka terpapar konten yang menormalisasi gaya hidup atau ideologi tertentu yang kontradiksi dengan ajaran agama, maka besar kemungkinan saat dewasa mereka akan menganggap hal itu wajar.” Contoh paling kentara adalah kemunculan karakter atau narasi dalam kartun, film anak-anak, bahkan mainan yang secara halus memperkenalkan konsep-konsep seperti keragaman gender atau hubungan di luar norma agama. Meskipun terkesan tidak berbahaya, paparan berulang-ulang ini dapat menciptakan “pembiasaan” yang mengikis fondasi nilai-nilai keislaman yang seharusnya ditanamkan oleh keluarga dan lingkungan.
Fenomena ini adalah alarm merah bagi orang tua Muslim. Strategi pemasaran psikologis, yang dulunya berhasil membuat kopi yang “asing” menjadi “akrab” bagi lidah Jepang, kini ditengarai bergeser fokus untuk “mengakrabkan” ideologi yang sejatinya asing bagi akidah Islam. Para pemasar ulung telah memahami betul bahwa pembentukan nilai dan preferensi paling efektif dimulai dari masa kanak-kanak. Mereka tidak lagi hanya menjual produk, melainkan menjual gagasan, pandangan hidup, bahkan identitas.
Bayangkan, anak-anak kita yang polos disuguhi tayangan kartun di mana “cinta” digambarkan secara tidak lazim, atau mainan yang mengaburkan batas-batas fitrah. Awalnya mungkin terlihat sepele, hanya hiburan. Namun, paparan berulang-ulang, sedikit demi sedikit, akan menanamkan bibit-bibit pemikiran yang lambat laun mengikis fondasi keislaman mereka. Apa yang awalnya “aneh” dan “bertentangan” akan menjadi “normal” dan “dapat diterima” seiring berjalannya waktu. Ini adalah invasi halus yang jauh lebih berbahaya daripada serangan fisik, karena ia merusak dari dalam, menargetkan pikiran dan hati generasi penerus.
Menyikapi fenomena ini, para ulama dan aktivis Muslim menyerukan pentingnya filterisasi konten dan penguatan pendidikan agama sejak dini. Orang tua diharapkan lebih selektif dalam memilih tontonan, buku, atau bahkan permainan untuk anak-anak mereka. “Ini bukan tentang melarang anak bersosialisasi atau mengekang mereka dari dunia luar, melainkan tentang membangun benteng akidah yang kuat dari dalam,” kata Ustadzah Aisyah, seorang pendidik di sebuah pesantren di Jawa Timur. “Literasi media, kemampuan berpikir kritis, dan pemahaman mendalam tentang ajaran Islam adalah kunci agar anak-anak Muslim tidak mudah terpengaruh oleh arus globalisasi yang membawa nilai-nilai asing.”
Kekhawatiran ini menjadi alarm bagi umat Muslim untuk lebih proaktif dalam melindungi generasi penerus dari strategi “psikologi pemasaran” yang tidak hanya menargetkan selera, tetapi juga nilai dan keyakinan. Ancaman ini nyata dan mendesak. Kita tidak bisa berdiam diri membiarkan anak-anak kita menjadi sasaran empuk bagi agenda-agenda tersembunyi yang bertujuan menjauhkan mereka dari Islam. Tanggung jawab ada di tangan kita, para orang tua dan pendidik, untuk membentengi mereka dengan iman, ilmu, dan pemahaman yang kuat. Jangan sampai saat mereka dewasa, nilai-nilai yang kita tanamkan sejak kecil telah luntur, digantikan oleh pemikiran-pemikiran asing yang menyimpang dari jalan kebenaran.