Gagasan bahwa usia 20-an adalah masa untuk mengejar kenyamanan hidup terdengar menggoda. Fase ini sering dianggap sebagai waktu untuk menikmati hasil kerja, memenuhi keinginan pribadi, dan hidup semau gue. Namun, menurut Prita Gozi, seorang pakar perencana keuangan, pandangan ini justru merupakan jebakan yang dapat membebani masa depan. Alih-alih fokus pada kenyamanan, usia 20-an justru harus menjadi landasan kokoh untuk menghadapi tanggung jawab yang lebih besar di dekade selanjutnya.
Prita, melalui podcast Suara Berkelas, membagi perjalanan finansial menjadi tiga fase utama: usia 20-an sebagai masa surviving (kerja untuk hidup), 30-an sebagai masa saving (stabilisasi dan menabung), dan 40-an sebagai masa playing (menikmati hasil). Kesalahan terbesar sering terjadi pada transisi dari fase pertama ke kedua. Di usia 20-an, banyak orang tergoda untuk membuktikan eksistensi melalui kepemilikan simbolis seperti kendaraan dengan cicilan panjang atau gaya hidup konsumtif. Mereka lupa bahwa kebiasaan ini akan mempersulit diri saat memasuki usia 30-an, di mana tanggungan hidup seperti keluarga dan anak mulai bermunculan.
Salah satu contoh konkret adalah fenomena “trauma generasi” dalam pengelolaan keuangan. Seseorang yang di usia mudanya terbiasa memenuhi semua keinginan tanpa perencanaan, cenderung menurunkan pola serupa kepada anak-anaknya. Mereka mengira bahwa memenuhi segala permintaan materi adalah bentuk kasih sayang, tanpa menyadari bahwa hal itu justru menciptakan siklus finansial yang tidak sehat. Anak-anak tumbuh dengan pemahaman keliru bahwa kebahagiaan identik dengan kepemilikan barang, yang pada akhirnya dapat membuat mereka terjebak dalam gaya hidup konsumtif.
Lebih berbahaya lagi ketika seseorang baru mampu membeli rumah di usia 30-an. Euphoria kepemilikan sering berujung pada keinginan untuk mengisi rumah tersebut dengan berbagai barang secara “gila-gilaan”. Padahal, keputusan finansial yang impulsif ini justru dapat menggerus tabungan dan meningkatkan beban utang. Seharusnya, seseorang perlu memahami terlebih dahulu gaya hidup dan kebutuhannya yang sesungguhnya sebelum melakukan pengeluaran besar. Sabar dan bijak dalam mengalokasikan dana adalah kunci agar rumah benar-benar menjadi aset penopang, bukan beban.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi fase 20-an? Pertama, prioritaskan pembentukan dana darurat. Penelitian menunjukkan bahwa memiliki dana darurat setara dengan tiga kali pengeluaran bulanan dapat mengurangi stres finansial dan membantu pengambilan keputusan yang lebih logis. Kedua, hindari utang konsumtif, terutama untuk barang-barang yang nilainya cepat menyusut seperti kendaraan. Ketiga, mulailah membiasakan diri menabung untuk masa pensiun sedini mungkin. Meski terasa jauh, kebiasaan menabung kecil yang konsisten akan lebih mudah daripada memaksakan menabung dalam jumlah besar di usia tua.
Prita juga menekankan pentingnya komunikasi finansial dalam keluarga, terutama bagi mereka yang berperan sebagai tulang punggung. Masalah seperti orang tua yang memiliki utang atau adik yang perlu dibiayai kuliah harus diselesaikan dengan duduk bersama dan mengevaluasi kondisi keuangan secara objektif. Angka tidak pernah berbohong, dan dengan data yang jelas, keluarga dapat mencari solusi bersama tanpa merasa terbebani secara emosional.
Pada akhirnya, kesuksesan finansial tidak melulu tentang seberapa besar penghasilan, tetapi tentang sebijak apa kita mengelolanya. Usia 20-an adalah masa investasi bagi masa depan, bukan hanya investasi uang, tetapi juga investasi kebiasaan, disiplin, dan pola pikir. Menghindari zona nyaman hari ini mungkin terasa berat, tetapi percayalah, hasilnya akan terasa ketika kita memasuki usia 30-an dan 40-an dengan beban yang lebih ringan dan hati yang lebih tenang. Jangan jadikan usia muda sebagai alasan untuk bersenang-senang, tetapi jadikan ia sebagai fondasi untuk kehidupan yang lebih sejahtera.













