Fenomena “sound horeg” atau penggunaan pengeras suara secara berlebihan dan mengganggu semakin menjadi sorotan. Lebih dari sekadar kebisingan, praktik ini kini menimbulkan kerusakan fisik dan keresahan sosial yang mendalam, bahkan dipandang sebagai pelanggaran nilai-nilai agama.
Keluhan masyarakat terus bermunculan. Bukan lagi hanya tentang suara bising yang mengganggu ketenangan, tetapi dampaknya telah merambah ke kerusakan fisik. Laporan-laporan menyebutkan kaca jendela rumah retak bahkan pecah akibat getaran dan tekanan suara yang terlalu kencang. Fasilitas umum juga tidak luput, mengalami kerusakan akibat getaran yang ditimbulkan. Yang paling memprihatinkan adalah dampak kesehatan langsung, dengan banyaknya keluhan warga yang mengalami gangguan pendengaran dan tekanan psikologis akibat paparan polusi suara kronis.
“Ini bukan hanya masalah sosial. Ini juga masalah agama,” tegas KH Miftahul Huda, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam keterangannya baru-baru ini. Beliau menegaskan bahwa tindakan mengganggu ketertiban dan ketenangan masyarakat seperti sound horeg termasuk dalam kategori perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam. Kiai Miftahul menekankan bahwa penanganan masalah ini tidak cukup hanya dengan fatwa keagamaan, namun memerlukan tindakan tegas dari aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.
Landasan agama yang disampaikan MUI memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Salah satu hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menyatakan: “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya” (HR Bukhari: 6016 dan Muslim: 46). Hadis ini secara tegas mengaitkan keimanan seseorang dengan perlakuan baik dan tidak mengganggu ketenangan tetangganya. Gangguan seperti kebisingan ekstrem dari sound horeg jelas bertentangan dengan prinsip ini.
Lebih lanjut, kerusakan fisik yang ditimbulkan, seperti pecahnya kaca atau rusaknya fasilitas, masuk dalam kategori kezaliman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura ayat 42:
اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ وَيَبْغُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Sesungguhnya alasan (untuk menyalahkan) itu hanya ada pada orang-orang yang menganiaya manusia dan melampaui batas di bumi tanpa hak (alasan yang benar). Mereka itu mendapat siksa yang sangat pedih.” Tindakan merusak harta benda orang lain, meskipun dianggap sebagai efek samping dari “hiburan”, tetaplah sebuah kezaliman yang diancam dengan azab yang pedih.
Aspek maksiat dalam praktik sound horeg juga menjadi perhatian. Dalam konteks di mana penggunaan alat musik dan nyanyian tersebut dilakukan secara berlebihan, mengganggu, dan seringkali diiringi aktivitas lain yang bertentangan syariat, maka ia termasuk dalam peringatan Nabi. Beliau menyebutkan akan adanya umatnya yang menghalalkan musik dalam konteks maksiat, sebagaimana mereka menghalalkan zina dan minuman keras. Nabi juga menyebut dua suara yang bodoh dan maksiat, yaitu nyanyian (dalam konteks maksiat) dan ratapan berlebihan saat musibah.
Dampak kesehatan dari paparan kebisingan tingkat tinggi juga tak bisa diabaikan. Paparan suara di atas ambang batas dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen (tinnitus), meningkatkan stres, gangguan tidur, hingga masalah kardiovaskular. Anak-anak dan lansia merupakan kelompok yang paling rentan.
Menyikapi kompleksitas masalah ini, seruan untuk menghentikan praktik sound horeg yang mengganggu semakin kuat. Masyarakat diajak untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan lingkungan. “Hiburan kita jangan sampai menjadi bencana bagi orang lain, apalagi sampai melanggar ketentuan syariat,” imbau seorang tokoh masyarakat. “Jika benar-benar cinta damai dan menginginkan kebaikan, sudah saatnya menghentikan sound horeg yang merusak dan mengganggu. Suara kita adalah tanggung jawab kita.”
Tekanan kini tidak hanya datang dari masyarakat yang resah, tetapi juga dari perspektif agama yang jelas melarang penganiayaan dan pengganggu ketenangan. Tindakan konkret dari pihak berwenang ditunggu untuk menertibkan praktik yang telah meresahkan dan merugikan banyak pihak ini, demi terciptanya lingkungan yang aman, nyaman, dan sesuai dengan nilai-nilai sosial maupun agama.