Di tengah maraknya wacana pemerintah untuk menerapkan program makan bergizi gratis di sekolah-sekolah, langkah SD Muhammadiyah Satu Solo menolak program tersebut justru memunculkan diskusi menarik. Sekolah ini memilih untuk tetap mempertahankan sistem penyediaan makanan yang telah mereka jalankan sendiri selama lebih dari satu dekade. Bukan tanpa alasan, metode yang diterapkan terbukti aman, sehat, dan berkelanjutan, bahkan telah mendapatkan pengakuan nasional.
Selama 10 tahun terakhir, SD Muhammadiyah Satu mengelola dapur sehat yang higienis dan memenuhi standar operasional prosedur (SOP) yang ketat. Setiap hari, siswa dan siswi mendapatkan makanan bergizi yang dimasak langsung di lingkungan sekolah. Tidak hanya segar, tetapi juga terjamin kualitas dan kandungan gizinya. Dapur sehat milik sekolah ini bahkan sudah dua kali meraih predikat Kantin Sehat Nasional dari Kementerian Kesehatan. Penghargaan tersebut tentu bukan hasil kebetulan, melainkan buah dari komitmen panjang terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak didik.
Penolakan terhadap program makan bergizi gratis bukanlah bentuk perlawanan terhadap pemerintah, melainkan ekspresi dari kemandirian institusi pendidikan yang telah membangun sistem yang baik dan teruji. Kepala sekolah, para guru, dan orang tua murid meyakini bahwa sistem internal yang telah terbentuk mampu menjaga kualitas makanan dengan lebih efektif ketimbang sistem baru yang belum tentu sesuai dengan kondisi sekolah mereka. Bahkan, Wali Kota Solo, Respati Ardi, turut mendukung keputusan ini, dengan alasan bahwa setiap sekolah memiliki karakter dan kebutuhan berbeda dalam mengelola gizi siswa.
Program makan bergizi gratis dari pemerintah tentu memiliki niat baik, yaitu memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak tanpa terkendala ekonomi. Namun, kebijakan publik yang bersifat menyeluruh seharusnya juga memberi ruang fleksibilitas bagi lembaga pendidikan yang telah memiliki sistem mandiri yang terbukti efektif. Dalam konteks ini, SD Muhammadiyah Satu menunjukkan bahwa desentralisasi pengelolaan gizi sekolah bisa menjadi model keberhasilan.
Daripada mengganti sistem yang sudah baik, pemerintah seharusnya belajar dari sekolah-sekolah seperti SD Muhammadiyah Satu. Evaluasi dan sinergi dapat menjadi langkah yang lebih bijak ketimbang pemaksaan program tunggal. Mungkin justru pendekatan SD Muhammadiyah Satu, dengan dapur sehat yang terintegrasi, tenaga ahli gizi, dan keterlibatan orang tua, bisa dijadikan model nasional untuk implementasi program makan bergizi yang berkelanjutan.
Kemandirian sekolah ini juga mencerminkan nilai-nilai pendidikan karakter yang sesungguhnya: disiplin, tanggung jawab, dan komitmen terhadap kualitas. Dalam situasi di mana banyak sekolah masih bergantung pada bantuan eksternal, SD Muhammadiyah Satu Solo membuktikan bahwa kemandirian bukan berarti menutup diri dari kerja sama, melainkan memastikan setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan anak.
Penolakan yang dilakukan SD Muhammadiyah Satu Solo bukan semata tindakan menolak kebijakan, melainkan sebuah pernyataan bahwa mereka sudah memiliki sistem yang baik dan siap menjadi inspirasi bagi sekolah lain. Pemerintah seharusnya meniru, bukan mengganti. Karena pada akhirnya, tujuan bersama kita tetap satu: memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia.
			
			







