Dalam kepekatan malam Babilonia, sebuah mimpi buruk merenggut ketenangan Raja Namrud, sang penguasa lalim yang dengan angkuh menobatkan dirinya sebagai Tuhan. Dalam mimpinya, ia melihat kerajaannya terbakar, runtuh, dan hancur lebur. Ketakutan merayap dalam dirinya, mendorongnya membangunkan para penasihatnya, termasuk Azar, ayah Nabi Ibrahim, tangan kanannya yang piawai mengukir berhala-berhala.
Para penasihat terdiam, tak mampu menafsirkan mimpi sang raja. Hingga sebuah suara berbisik, “Mungkin malam ini, seorang bayi laki-laki telah lahir di Babilonia, yang kelak akan menghancurkan kerajaan Tuan.” Seketika, Namrud murka. Sebuah perintah keji terlontar dari bibirnya: “Bunuh semua anak laki-laki yang lahir malam ini! Tanpa terkecuali!” Azar, yang baru saja dikaruniai seorang putra bernama Ibrahim, dilanda kepanikan. Dengan hati pilu, ia menyelundupkan bayinya ke dalam hutan, menyelamatkannya dari kekejaman sang raja.
Empat puluh tahun berlalu. Ibrahim tumbuh menjadi seorang pemuda yang tercerahkan, diangkat menjadi Nabi oleh Allah. Sementara itu, di Babilonia, Namrud semakin kokoh dalam kesombongannya, diyakini sebagai Tuhan oleh rakyatnya yang telah terpapar doktrin palsu selama empat dekade. Kuil-kuil megah berdiri, dipenuhi patung-patung berhala, di antaranya patung raksasa Namrud sendiri.
Ibrahim, yang kini telah kembali ke Babilonia, tak gentar. Ia langsung menuju jantung kegelapan, kuil-kuil yang dipenuhi patung sesembahan. Di tengah kerumunan yang larut dalam pemujaan, Ibrahim melangkah maju. Ia mengambil sesajen, menggigit apel segar di hadapan patung-patung tak bernyawa itu. Orang-orang terkesiap, menunggu petir menyambar, kutukan melanda. Namun, tak ada apa pun. Ibrahim melempar apel itu ke wajah patung, mengulanginya berkali-kali di setiap patung, menantang, menghina.
“Wahai masyarakat Babilonia, apakah kalian tidak berakal?” suaranya menggema, memecah keheningan. “Kalian menyembah patung-patung yang kalian pahat sendiri! Bukankah sudah kubuktikan, mereka tak bisa marah, bahkan tak mampu membela diri saat aku menghina mereka? Aku adalah utusan Allah, Tuhan langit dan bumi yang sesungguhnya!”
Malam itu, dengan kampak di tangan, Ibrahim meruntuhkan berhala-berhala itu satu per satu, mematahkan tangan dan kaki mereka, menghancurkan kepala-kepala batu. Ia menumpuk reruntuhan itu di kaki patung Namrud yang raksasa, lalu meletakkan kampak di tangan patung terbesar itu, seolah patung itulah yang melakukannya.
Keesokan paginya, kekacauan melanda kuil. Para penjaga berteriak, “Siapa yang berani melakukan ini pada Tuhan kami?!” Ibrahim dipanggil. “Apa kau yang melakukannya, wahai Ibrahim?”
Dengan tenang, Ibrahim menjawab, “Siapa yang memegang kapak itu? Tanyakan padanya jika ia bisa berbicara!” Kerumunan terdiam, akal sehat mereka perlahan tersentak. Namun, kegelapan hati mereka belum sepenuhnya sirna. Mereka memutuskan untuk mengadukan Ibrahim kepada Namrud, Tuhan mereka.
Ibrahim tak menunggu. Ia melangkah sendiri ke istana Namrud yang megah. Saat tirai diangkat, menyingkap Namrud yang duduk angkuh di singgasana, semua orang bersujud, kecuali Ibrahim.
“Siapa kau? Beraninya tidak bersujud padaku?” geram Namrud.
“Wahai Namrud!” suara Ibrahim lantang, memanggil nama sang raja tanpa gelar ketuhanan. “Dari mana kau mengaku sebagai Tuhan? Kau manusia biasa sepertiku! Tuhanku dan Tuhanmu, serta Tuhan segala sesuatu, adalah Allah. Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan!”
Namrud, terkejut dan murka, berusaha membuktikan kekuasaannya dengan memerintahkan pembunuhan satu tahanan dan pembebasan yang lain. “Lihatlah, aku menghidupkan dan mematikan!”
Ibrahim tersenyum tipis, “Kalau begitu, Tuhanku dan Tuhanmu, Allah, setiap pagi menerbitkan matahari dari timur dan menenggelamkannya di barat. Bisakah kau melakukannya?” Namrud terdiam, wajahnya memerah padam. Dia telah kalah.
Akan tetapi, kesombongannya tak mengizinkannya mengakui kekalahan. “Tangkap orang ini! Penjarakan dia! Aku ingin dia mati, tapi bukan mati biasa! Cari cara paling spektakuler!”
Setelah bermusyawarah selama seminggu, sebuah ide gila muncul: bakar Ibrahim hidup-hidup! Sebuah tungku raksasa dibangun, apinya membumbung tinggi hingga 17 meter, terlihat dari seluruh penjuru Babilonia. Prajurit pilihan menjaga ketat, memastikan tak ada yang bisa lolos. Ibrahim diikat, bajunya dilucuti, dan dilemparkan ke dalam kobaran api dari kejauhan. Kejadian itu terjadi pada tanggal 10 Muharram atau hari Asyura.
Dalam kobaran api yang mengerikan, Jibril menawarkan bantuan, namun Ibrahim menolak, keyakinannya pada Allah tak tergoyahkan. Ia hanya berucap, “Ya Allah, zat yang telah menciptakan aku dan segala sesuatu, termasuk api di depanku ini… jadikanlah api ini dingin dan keselamatan bagiku!”
Detik-detik berlalu, namun tak ada teriakan, tak ada jeritan. Keheningan mencekam menyelimuti lautan api. Namrud sendiri bingung, tak percaya. Tiga hari berlalu, Namrud berpesta pora, yakin Ibrahim telah menjadi abu.
Pada hari ketiga, Namrud memerintahkan api dipadamkan. Seluruh Babilonia menahan napas. Dan di tengah sisa bara, duduklah Ibrahim, tenang, tak tersentuh api sedikit pun! Jibril berbisik, “Tuhanmu memerintahkanmu untuk berdiri dan pulang.” Ibrahim bangkit, berjalan keluar dari tungku raksasa itu, pulang ke rumahnya. Pemandangan itu mengguncang seluruh Babilonia. Banyak hati mulai bergetar, beriman pada Tuhan Ibrahim.
Hikmah besar tersimpan dalam peristiwa ini. Setelah tiga hari tiga malam yang menegangkan di dalam lautan api, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim hanyalah satu: pulang ke rumah. Tak ada perintah untuk menyerang balik, tak ada instruksi untuk berdakwah lagi saat itu juga. Cukup menjalankan perintah, karena Allah memiliki skenario-Nya sendiri. Inilah ujian ketaatan dan keyakinan penuh kepada Sang Pencipta. Ibrahim patuh, dan setelah itu, Allah SWT sendirilah yang mengambil alih persekusi terhadap raja yang mengaku sebagai Tuhan itu.
Keesokan paginya, Allah mengirimkan makhluk paling lemah untuk menuntaskan kesombongan Namrud. Seekor lalat masuk ke lubang hidung Namrud, merangkak masuk, terus mendesak hingga ke otaknya. Sang raja menjerit kesakitan, menepuk-nepuk kepalanya, namun tak ada gunanya. Bagaimana mungkin otot kekar, pedang tajam, atau jutaan prajurit dapat melawan seekor lalat di dalam kepalanya?
Selama tiga hari, Namrud tersiksa, tak makan, tak minum, tak tidur, meraung dalam kesakitannya sendiri. Seluruh kerajaannya menyaksikan raja mereka yang mengaku Tuhan, kini terkapar tak berdaya. Pada hari ketiga, di depan singgasananya, Namrud tergelepar tak bernyawa. Dan dari lubang hidangya, seekor lalat keluar, terbang bebas.
Kabar kematiannya menyebar seperti kilat: Raja Namrud, Tuhan Babilonia, telah dibunuh oleh seekor lalat. Inilah akhir tragis bagi kesombongan yang melampaui batas, sebuah pengingat abadi akan kebesaran Allah dan kelemahan fana setiap manusia.