“Allahu Akbar. Allahu Akbar. Lailahailla Allah.”
Seruan itu menggema lagi di langit Kashmir, tapi bukan dari menara masjid. Ia tercampur dalam gemuruh jet tempur dan gelegar rudal yang menembus batas negara dan harga diri. Dunia kembali menoleh ke dua negara tetangga bersenjata nuklir: India dan Pakistan. Namun, ada yang berbeda kali ini. Konflik ini bukan hanya tentang dua negara. Ia adalah pentas global yang disusupi aktor ketiga—diam, tak bersenjata, tapi menguasai medan: Cina.
Konflik bersenjata yang meletus pada 7 Mei 2025, melalui Operasi Sindur oleh India dan kemudian dibalas dengan Operasi Byan Ulmarsus oleh Pakistan, membuka tabir lebih luas dari sekadar bentrokan klasik di wilayah Kashmir. India datang dengan kemewahan persenjataan Barat—Rafale dari Prancis, rudal Brahmos hasil kolaborasi Rusia-India, drone kamikaze dari Israel, dan kepercayaan penuh pada teknologi tinggi. Di sisi lain, Pakistan menjawabnya dengan taktik yang tampak sederhana namun sangat efisien: sistem tempur murah-meriah dari Cina.
Jet tempur JF-17 Thunder Block 3 dan J-10 buatan Cina, rudal PL-15, serta drone tempur Wing Loong 2 membuktikan bahwa keunggulan di medan perang tak lagi ditentukan oleh siapa yang punya perlengkapan paling mahal, tapi siapa yang bisa menghancurkan lebih banyak dengan biaya lebih sedikit. Dan di sinilah letak keunggulan Cina—ia tidak perlu menembakkan peluru untuk memenangkan perang. Ia cukup menjadi toko senjata murah dengan hasil yang mematikan.
Konflik kali ini menjadi duel diam-diam antara ekosistem alutsista premium ala Barat dan senjata fungsional ala Timur. Dan dalam duel itu, satu fakta mencuat ke permukaan: kemenangan kadang tidak datang dari yang terbaik, tapi dari yang cukup.
Namun di balik parade teknologi ini, ada yang lebih menyayat: penderitaan rakyat Kashmir. Satu jet jatuh di langit Amritsar, lima lainnya tumbang di wilayah Pakistan, tetapi di tanah, masjid-masjid runtuh, sekolah tutup, dan warga sipil mengungsi. Perang modern boleh dibungkus dengan istilah “presisi”, tetapi presisi tidak berlaku di rumah-rumah yang hancur. Tidak di ruang kelas yang kosong. Tidak di jenazah anak-anak yang tak bersalah.
Tragedi juga terjadi di pasar saham. Ketika satu unit Rafale jatuh, bukan hanya kebanggaan India yang runtuh. Saham Dassault Aviation anjlok lebih dari 5%. Sebaliknya, saham perusahaan pertahanan Cina melonjak hingga 18%. Dunia menyaksikan, dan pasar merespons—karena pada akhirnya, perang bukan hanya soal ideologi, tapi juga soal ekonomi dan persepsi.
Gencatan senjata yang kemudian diumumkan seolah memberi harapan. Tapi mari kita jujur: ini bukan pertama kali India dan Pakistan menyepakati damai. Dan setiap kali, sejarah mencatat bahwa gencatan senjata itu tak lebih dari jeda untuk memuat ulang peluru.
Hari ini, Kashmir adalah panggung pertarungan tiga kutub global:
- India dengan aliansi Barat dan Israel.
- Pakistan dengan lengan bersenjata Beijing.
- Dan rakyat Kashmir, yang lagi-lagi menjadi korban.
Cina tidak menembakkan rudal. Ia menanam pengaruh. Amerika Serikat tidak turun langsung, tapi menyuplai teknologi. Dan di tengah hiruk pikuk diplomasi, satu kebenaran mencuat: perang modern tidak selalu dimulai oleh peluru. Ia bisa dimulai oleh kontrak, oleh ekspor drone, oleh pengaruh ekonomi.
Gencatan senjata boleh dideklarasikan. Tapi kepercayaan? Itu masih barang langka di perbatasan India dan Pakistan. Dan selama ketidakpercayaan itu berkuasa, Kashmir akan terus bergetar—bukan karena doa, tapi karena ledakan.
