Dalam kehidupan modern yang serba cepat, proses belajar sering kali diidentikkan dengan sesuatu yang melelahkan dan membosankan. Banyak orang masih menerapkan pola belajar konvensional, menyelesaikan seluruh materi dalam satu waktu, biasanya menjelang ujian. Namun, penelitian psikologi menunjukkan bahwa otak manusia tidak selalu bekerja efektif dengan cara demikian. Salah satu konsep menarik yang menjelaskan fenomena ini adalah Zeigarnik Effect, yakni kecenderungan manusia untuk lebih mudah mengingat hal-hal yang belum selesai dibandingkan yang telah rampung.
Konsep ini pertama kali ditemukan oleh Bluma Zeigarnik, seorang psikolog asal Rusia pada tahun 1920-an. Penemuan ini berawal dari pengamatan sederhana yang ia lakukan di sebuah kafe. Ia menyadari bahwa para pelayan mampu mengingat pesanan pelanggan yang belum disajikan dengan sangat baik, tetapi segera melupakannya setelah pesanan tersebut selesai. Pengamatan itu kemudian mendorong Zeigarnik melakukan penelitian eksperimental yang berujung pada kesimpulan penting: manusia memiliki dorongan kognitif alami untuk menyelesaikan sesuatu yang tertunda.
Secara metaforis, otak manusia dapat diibaratkan seperti sebuah peramban dengan banyak tab terbuka. Setiap tugas yang belum diselesaikan adalah tab aktif yang terus menarik perhatian dan menguras energi mental. Otak tidak akan merasa “lega” sebelum tab tersebut ditutup. Namun menariknya, kondisi “belum selesai” ini justru menimbulkan fokus dan motivasi tambahan untuk menuntaskannya. Dalam konteks pendidikan, hal ini menunjukkan bahwa menunda penyelesaian suatu materi secara sengaja dapat meningkatkan keterlibatan dan retensi belajar seseorang.
Saya pribadi pernah mengalami perubahan besar dalam pola belajar setelah memahami prinsip Zeigarnik Effect. Sebelumnya, saya cenderung mengandalkan sistem belajar “kebut semalam” di mana seluruh materi diserap dalam waktu singkat sebelum ujian. Meskipun terasa efisien, hasilnya sering kali tidak memuaskan, materi mudah dilupakan dan fokus cepat menurun. Setelah mencoba menerapkan pembelajaran bertahap, saya mulai merasakan perbedaan signifikan. Misalnya, ketika membaca buku, saya sengaja berhenti di tengah bab dan melanjutkannya keesokan hari. Atau ketika berlatih soal, saya menunda beberapa bagian agar tetap ada rasa “belum selesai” yang memicu keinginan untuk kembali belajar.
Pendekatan ini memang bertentangan dengan prinsip tradisional yang menekankan pentingnya menyelesaikan tugas hingga tuntas. Namun, dalam konteks belajar, sedikit “ketidakselesaian” justru dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan motivasi. Perasaan belum tuntas menciptakan ketegangan kognitif yang secara alami mendorong otak untuk mencari penyelesaian. Akibatnya, proses belajar menjadi lebih berkelanjutan tanpa harus dipaksakan.
Efek ini sangat relevan bagi siapa pun yang ingin membangun kebiasaan belajar yang konsisten. Sebagai contoh, ketika menghadapi ujian dalam satu minggu, sebaiknya materi tidak dipelajari sekaligus. Pembagian topik per hari justru akan menciptakan efek “rasa ingin tahu berkelanjutan” yang menjaga keterlibatan mental sepanjang minggu. Setiap kali kita meninggalkan materi yang belum rampung, otak akan menyimpan “tanda pengingat” dan memunculkan dorongan untuk melanjutkannya di kemudian hari. Dengan demikian, belajar menjadi proses yang berkelanjutan, bukan kegiatan yang dilakukan karena tekanan waktu.
Beberapa orang merasakan manfaat besar pendekatan ini ketika mempersiapkan sidang skripsi. Dengan membagi proses belajar menjadi beberapa tahap kecil, orang tersebut mampu memahami setiap topik dengan lebih mendalam dan mengingatnya dalam jangka waktu yang lebih lama. Ketika ditelusuri lebih jauh, ternyata fenomena ini juga telah dijelaskan dalam tulisan Zenius yang merujuk pada penelitian dari Harvard Business Review. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa informasi yang diterima otak pertama kali disimpan dalam memori sensorik sebelum dipindahkan ke memori jangka pendek. Apabila otak menganggap suatu aktivitas telah selesai, informasi tersebut mudah terhapus. Sebaliknya, jika tugas masih dianggap belum selesai, otak akan mempertahankan informasi tersebut dan berusaha memprosesnya lebih lanjut.
Dengan demikian, Zeigarnik Effect bukan sekadar teori psikologi yang menarik, melainkan konsep praktis yang dapat diimplementasikan dalam kegiatan belajar sehari-hari. Prinsip ini mengajarkan bahwa belajar tidak harus diselesaikan dalam satu waktu panjang. Justru dengan menciptakan jeda yang disengaja, kita memberi kesempatan kepada otak untuk bekerja secara optimal, memproses, mengingat, dan mengaitkan informasi dengan pengalaman sebelumnya.
Memang, pendekatan ini berlawanan dengan paradigma produktivitas yang menekankan penyelesaian secepat mungkin. Namun, dalam ranah pembelajaran, “menunda secara strategis” dapat menjadi bentuk efisiensi tersendiri. Rasa penasaran akibat sesuatu yang belum selesai berfungsi seperti bahan bakar yang menyalakan kembali semangat belajar. Sama halnya seperti seseorang yang terus menonton serial Netflix karena ingin tahu kelanjutannya, otak manusia juga terdorong untuk menuntaskan hal yang belum rampung.
Oleh karena itu, jika selama ini belajar terasa berat atau membosankan, mungkin bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena strategi belajar yang belum sejalan dengan cara kerja alami otak. Dengan menerapkan prinsip Zeigarnik Effect, proses belajar dapat diubah menjadi kegiatan yang lebih ringan, terstruktur, dan bahkan menyenangkan. Belajar tidak lagi menjadi beban, melainkan serangkaian tantangan kecil yang selalu mengundang rasa ingin tahu untuk diselesaikan. Pada akhirnya, rasa “belum selesai” bukanlah kelemahan, tetapi justru kunci untuk menciptakan pembelajaran yang berkesinambungan dan efektif.
			
			












